Latar Belakang
Menurut Webster’s
Seventh New Collegiate Dictionary, “minoritas” adalah bagian dari penduduk
yang beberapa cirinya berbeda dan sering mendapat perlakuan yang berbeda.
Sekelompok orang dapat dikatakan minoritas ketika mereka memiliki ciri-ciri
yang berbeda dan menyadari akan hal itu. Ciri-ciri tersebut dapat berbentuk fisik
seperti warna kulit dan dapat pula berupa bahasa. Minoritas juga tidak hanya
bergantung pada banyak sedikitnya anggota kelompok itu, tetapi juga karena beberapa
sebab tertentu.
Istilah
“Muslim” dipergunakan untuk menunjukkan semua orang yang mengakui bahwa Nabi
Muhammad saw adalah utusan Allah yang terakhir dan mengakui ajarannya adalah
benar tanpa memandang seberapa jauh mereka tahu tentang ajaran itu atau
seberapa jauh mereka dapat hidup sesuai dengan ajaran itu[1].
Jadi, minoritas muslim dapat didefinisikan sebagai bagian dari penduduk
yang berbeda karena anggota-anggotanya adalah Muslim dan sering mendapat
perlakuan yang berbeda[2]
Di masa lalu,
Eropa telah melihat orang-orang Muslim membentuk diri mereka dan tumbuh dengan
subur. Tiga daerah yang paling penting di mana orang-orang Muslim berhasil
dengan baik adalah Andalusia (Spanyol dan Portugal Muslim), Sicilia, dan Creta[3].
Komunitas
Muslim Eropa yang sekarang masih hidup dapat dibagi menjadi dua kategori.
Pertama, mereka yang bertahan hidup dengan kejatuhan Usmani dan terkonsentrasi
di Eropa Timur. Kedua, mereka yang berimigrisi karena kolonialisasi Eropa pada
masa lalu di negara-negara Muslim dan terkonsentrasi di Eropa Barat.
Pada tahun
1982 terdapat sekitar 382 juta orang Muslim di dunia yang hidup sebagai
minoritas. Benua Eropa berada di urutan ketiga yaitu dengan jumlah Muslim
sebanyak 34 juta orang.
PERKEMBANGAN
ISLAM MINORITAS DI BEBERAPA EROPA
1.
PERKEMBANGAN
ISLAM MINORITAS DI INGGRIS
A.
Sejarah
Masuknya Islam Di Inggris
Tak ada
informasi pasti kapan tepatnya agama islam masuk ke Inggris, akan tetapi
setidaknya terdapat catatan yang menyebutkan bahwa pada abad ke-10 telah ada
Muslim yang menginjakkan kakinya di negeri yang di sebut dengan Al-Bartun itu. Kaum muslim kian banyak di jumpai di Inggris,
terutama terjadi di era imperialisme dan
kolonialisme inggris yang mencaplok banyak kawasan timur yang komunitasnya mayoritas muslim, termasuk
khususnya dari Asia Selatan. Seiring dengan hadirnya “komunitas baru ini” sejak
1919-an mulai bermunculan boarding-house
yang didirikan sekaligus dihuni oleh komunitas muslim.[4]
Imigran Muslim pertama ke Inggris adalah orang Yaman dari Aden. Mereka
menghimpun diri di Cardiff dan disitu mereka membangun salah satu masjid
pertama di negeri itu pada 1870. Sebelum pergantian abad
datang kelompok Muslim lain dari India dan menetap di dekat London, disana
mereka membangun masjid Shah Jehan di Woking. Selama pertengahan pertama abad
ini orang Muslim datang ke Inggris dari Cyprus, Mesir, dan Irak. Menjelang
Perang Dunia II, penduduk Muslim Inggris telah berjumlah 50.000 orang. [5]
Imigrasi meningkat secara dramatik sesudah perang, sehingga pada tahun 1951
jumlah Muslim menjadi 2 kali lipat yaitu, 100.000 orang. Imigrasi mencapai
puncaknya pada tahun 1960-an, terutama dari India, Pakistan, dan Bangladesh.
Namun pada 1970-an, pemerintah Inggris lebih keras mengenai imigrasi asing dari
negeri bekas jajahan, akibatnya aliran orang-orang Muslim dari luar baru-baru
ini telah melambat.[6]
Pada 1971, ada sekitar setengah juta Muslim di Inggris, atau 1,8% dari
jumlah penduduk. Angka ini pada 1982 naik menjadi 1.250.000 Muslim (2,2% dari
penduduk). Pada 1982 sekurang-kurangnya 700.000 dari jumlah Muslim adalah warga
negara Inggris. Mereka berasal dari
negeri di mana orang Muslim jumlahnya lebih besar atau setidak-tidaknya
mempunyai komunitas besar untuk waktu lama. Orang pindah agama dari Islam ke
Inggris dan India Barat berjumlah beberapa ribu. Kebanyakan mereka berasal dari
anak benua India (sekitar 900.000 orang). Lainnya dari beberapa negara lain
diantaranya datang dari Cyprus, Yaman, Irak, dan Palestina. Juga ada sekitar
30.000 mahasiswa Muslim di berbagai Universitas Inggris. Mayoritas Muslim di
Inggris bermadzhab Hanafi, sisanya Syafi’i, Ja’fari atau Ismaili.[7]
Jumlah penduduk Muslim Inggris menurut sensus tahun 1991 sekitar 1,25 dan
1,5 juta jiwa. Hal ini berdasarkan dengan negara kelahiran yang dianggap
memeluk agama Islam, Bangladesh: 160.000; Pakistan: 476.000; India: 134.000;
Malaysia: 43.000; Arab: 134.000; Turki: 26.000; Siprus Turki: 45.000; dan
Afrika Sub-Sahara: 115.000.10[8]
Berdasar data yang diterbitkan Minority Rights Group International pada
Agustus 2002 tergambar bahwa komunitas Muslim tersebar. Muslim terbanyak
tinggal di London (1 juta), lalu Bradford (82.750), Scotland (60.000), Wales
(50.000), Leeds (30.000) , Oldham (25.000), Lecester (25.000) , Birmingham
(15.0000) dan Irlandia Utara (4.000). Dari seluruh komunitas Muslim, sebagian
besar berasal dari sub kontinen India, Turki, serta sebagian keturunan Timur
Tengah dan atau Afrika.[9]
Generasi awal Muslim Inggris tidak semuanya kaum pendatang. Shaikh Abdullah
Quilliam adalah salah satunya. Keislaman mualaf yang intelektual dan aktivis
ini diikuti banyak orang, termasuk sejumlah ilmuwan bereputasi. Sebagai
intelektual, Quilliam sangat produktif dalam menulis tentang Islam. Bahkan,
tulisannya berjudul “The Faith of Islam” diterjemahkan ke dalam 13 bahasa. Tak
sedikit komunitas Inggris pada tahun 1880-an tertarik menjadi Islam lantaran
terpengaruh tulisan dan aktivitas Quilliam ini. Tahun 1891, Quilliam mendirikan
masjid dan akademi yang mengelola bermacam-macam kegiatan seperti sekolah,
literary society, oriental library, museum, serta menerbitkan jurnal The
Crescent (terbit mingguan) dan Islamic World (terbit bulanan).[10]
B. Pendirian Lembaga-Lembaga dan Organisasi
Dakwah Islam
Usaha komunitas Muslim mengenai organisasi masih dalam tahapan pertama.
Kebanyakan Muslim di negeri itu sudah terorganisasi pada skala lokal yang
berada di dalam sekitar 200 organisasi keagamaan lokal. Biasanya masing-masing
organisasi lokal ini mempunyai masjidnya sendiri untuk seluruh orang Muslim di
satu kota atau bagian dari kota itu. Kebanyakan dari masjid ini merupakan
masjid sementara, tapi ada juga yang merupakan pusat komunitas yang luas, dapat
disebutkan misalnya Masjid Shah Jehan (Woking, 1970), Masjid Nour Al-Islam
(Cardiff), dan masjid-masjid di Conventry, Liverpool, Preston, Birmingham,
Manchester, dan Nottingham. Banyak gereja yang ditinggalkan telah dibeli oleh
kelompok Muslim setempat dan diubah menjadi Masjid seperti di Manchester,
Bristol, dan Sheffield. Ada sekitar seratus masjid di daerah London Raya, lima
puluh di Lancashire, empat puluh di Yorkshire dan tiga puluh di Midlands. Ada
tiga Masjid di Skotlandia, dua di Wales dan satu di Irlandia Utara (Belfast).
Masjid Pusat di London dibuka untuk beribadah pada tahun 1971. Namun, masjid
ini tidak diurus oleh komunitas Muslim Britania. Masjid ini dibangun oleh Korps
Diplomatik Muslim yang mewakili berbagai negara Muslim. Masjid ini merupakan
lembaga untuk komunitas Muslim Britania, walaupun bukan miliknya. Pembangunan
masjid ini pada tahun 1940 lalu. Sekarang diurus oleh Dewan Duta Besar. [11]
2.
Perkembangan
Islam Di Spanyol
Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Spanyol hingga jatuhnya
kerajaan Islam terakhir, sekitar tujuh setengah abad lamanya, Islam memainkan
peranan yang besar, baik dalam bidang kemajuan intelektual, (filsafat, sains,
fiqh, musik, kesenian serta bahasa dan sastra) maupun kemegahan bangunan fisik
(Cordova dan Granada). Sejarah panjang yang dialami umat Islam di Spanyol dapat
dibagi menjadi 6 periode:
1.
Periode Pertama (711-755)
Pada periode
ini Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah
Bani Umayyah yang terpusat di Damaskus. Pada periode ini, stabilitas politik
negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna dan gangguan-gangguan masih
terjadi, baik dari dalam maupun luar.
Gangguan dari dalam berupa perselisihan diantara elite penguasa,
terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat
perbedaan pendapat antara khalifah di Damaskus dengan Gubernur Afrika Utara
yang terpusat di Khairawan. Masing-masing mengaku bahwa berhak menguasai daerah
Spanyol. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali (Gubernur)
Spanyol dalam jangka waktu yang sangat singkat. Perbedaan pandangan politik itu
menyebabkan sering terjadinya perang saudara. Hal ini berhubungan dengan
perbedaan etnis, terutama antara Barbar asal Afrika Utara dengan Arab. Di dalam
etnis Arab pun terdapat dua golongan yang terus-menerus bersaing, yaitu suku
Qaisy (Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini sering
menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di Spanyol pada saat itu, tidak ada gubernur yang mampu
mempertahankan kekuasaannya dalam jangka waktu yang lama.[12]
Karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh
dari luar, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan
pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode ini berakhir dengan
datangnya Abd Al-Rahman Al-Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755 M.[13]
2. Periode Kedua (755-912 M)[14]
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang
bergelar amir (panglima atau gubernur), tetapi tidak tunduk pada pusat
pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh Khalifah Abbasiyyah di
Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol pada tahun
138/755 M dan diberi gelar Al-Dakhil (yang masuk ke Spanyol). Ia berhasil
mendirikan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada
periode ini adalah Abdurrahman Al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurrahman
Al-Ausath, Muhammad Ibn Abdurrahman, Munzir Ibn Muhammad, dan Abdullah ibn
Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan
menyaingi Daulah Abbasiyah di Baghdad. Abdurrahman Al-Nasir mendirikan
Universitas Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota Besar Spanyol. Hisyam
dikenal sebagai pembaharu dalam bidang Kemiliteran. Dialah yang memprakarsai
tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abdul Rahman Al-Ausath dikenal sebagai
penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat juga mulai masuk pada periode ini,
terutama pada zaman Abdurrahman Al-Ausath. Ia mengundang para ahli dari dunia
Islam lainnya untuk datang ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di
Spanyol mulai semarak.
Sekalipun demikian, berbagai ancaman dan kerusuhan terjadi. Pada
pertengahan abad ke-9, stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan
Kristen fanatik yang mencari kesyahidan (Martyrdom). Namun, gereja
Kristen lainnya di seluruh Spanyol tidak menaruh simpati pada gerakan itu,
karena pemerintah Islam mengembangkan kebebasan beragama. Penduduk Kristen
diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum Kristen.
Gangguan politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam
sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota
yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu, sejumlah orang tidak puas
membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah, pemberontakan yang
di pimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga.
Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang-orang Arab
masih sering terjadi.
3. Periode Ketiga (912-1013)[15]
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahaman III yang
bergelar “Al-Nasir” sampai munculnya “raja-raja kelompok” yang disebut dengan istilah “Muluk Al-Thawaif”. Pada periode ini
Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar Khalifah. Penggunaan khalifah
bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrrahman III, bahwa muktadir
Khalifah Daulah Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia karena dibunuh oleh
pengawalnya. Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana
pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat
ini saat yang tepat untuk memakai gelar Khalifah yeang telah hilang dari
kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah gelar ini dipakai
mulai tahun 929 M. Khalifah-kahalifah besar yang memipin pada periode ini ada 3
orang, yaitu Abdurrahman Al-Nasir (912-961), Hakam II (961-976), dan Hisyam II
(976-1009 M).
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan
menyaingi kejayaan Daulah Abbasiyah di Baghdad. Abdurrahman Al-Nasir mendirikan
Universitas Cordova. Ia mendahului Al-Azhar Kairo dan Nizhamiyah Baghdad, juga
menarik minat para siswa Kristen dan Muslim, baik di Spanyol maupun wilayah-wilayah
lain Eropa, Afrika, dan Asia.
Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova
menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol terpecah dalam banyak negara
kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
4. Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode
ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh Negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Mulukuth Thawaif yang terpusat di
suatu kota seperti Seville, Cordova, Tolado, dan sebagainya. Negara kecil yang
terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini, umat Islam
memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, jika terjadi perang saudara,
pihak-pihak yang bertikai itu meminta bantuan kepada raja-raja kristen. Melihat
kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik islam, untuk pertama
kalinya orang-orang Kristen pada periode ini, mulai mengambil inisiatif
penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, kehidupan intelektual
terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana
sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana yang lain.[16]
5. Periode Kelima (1086-1248 M)[17]
Pada periode ini, Spanyol Islam, meskipun masih terpecah dalam beberapa
negara, masih memiliki satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan Dinasti
Murabithun (1086-1143 M) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti
Murabithun pada mulanya adalah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn
Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M, ia berhasil mendirikan sebuah
kerajaan yang berpusat di Marakesy. Pada masa Dinasti Murabithun, Saragosa
jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M.
Dinasti Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumazi (W.1128). Dinasti ini
datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abdul Mun’im. Pada tahun 1212 M, tentara
Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Nevas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan
yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya meninggalakan Spanyol dan
kembali ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. Pada tahun 1238 M, Cordova jatuh ke
tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248 M. Seluruh Spanyol,
kecuali Granada, lepas dari kekuasaan Islam.
6. Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah Dinasti
Ahmar (1232-1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti pada zaman
Abdurrahman An-Nasir. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di
Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam perebutan
kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya kerena
menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Ia memberontak
dan berusaha merampas kekuasannya. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh
dan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan
kepada Ferdinand dan Isabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini
dapat mengalahkan penguasa yang sah Abu Abdullah naik takhta. Ferdinand dan
Isabella mempersatukan kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak
cukup puas. Kedua-duanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam di
Spanyol. Abu Abdullah tidak kuasa menahan serangan-serangan orang Kristen dan
pada akhirnya mengaku salah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Ferdinand dan
Isabella, kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian berakhirlah Islam di
Spanyol pada tahun 1492 M. Umat islam setelah itu dihadapkan pada dua pilihan,
masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Pada tahun 1609 M, boleh
dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah itu.[18]
Di spanyol ada sekitar 90.000 Muslim
pada 1971, di antara mereka sekitar 13.000 warga-negara Spanyol. Pada 1982 ada
sekitar 120.000 orang Muslim. Kebanyakannya adalah pekerja asing terutama dari
Afrika Utara. Inkuisisi Spanyol terhadap Islam di abad 17 yang telah
menghancurkan komunitas Muslim sebenarnya berlangsung sampai tahun 1967. Pada
tahun itu untuk pertama kali di Spanyol diberlakukan kemerdekaan beragama.
Kemerdekaan beragama yang lengkap diberlakukan setelah meninggalnya Jendral
Franco pada 1975. Namun abad-abad misinformasi oleh gereja Katolik Spanyol
terhadap Islam mempunyai efek yang buruk pada penduduk dan ini memaksa banyak
Muslim Spanyol merahasiakan keyakinan agamanya karena takut dianiaya. Walaupun
demikian orang-orang Muslim diantaranya Mahasiswa di universitas-universitas
dan pekerja-pekerja pabrik berhasil membentuk asosiasi-asosiasi Muslim
dikebanyakan kota utama. Demikian pula sekitar 40 Masjid sementara di seluruh
negeri. Sejak 1980 sejumlah orang Andalusia kembali ke Islam terutama di daerah
Andalusia. Mereka membentuk organisasi-organisasi yang terpenting adalah,
Comunidad Islamica en Al-Andalus dengan seksi-seksi Sevilla, Granada, Malaga,
Jerez, dan Comunidad Islamica en Espana di Granada. Kedutaan Besar
Negara-negara Muslim merencanakan membangun sebuah Masjid di Madrid diatas
tanah yang diberikan oleh kota Madya. Uni Asosiasi-Asosiasi Mahasiswa Muslim,
menarik kebanyakan mahasiswa asing, mempunyai kantor pusatnya di Madrid dan
seksi-seksi di kota-kota besar Spanyol.[19]
3.
Bulgaria
Pada tahun 1878 negara ustmani memberikan otonomi kepada dua
kepangeranan Rumelia dan Rumelia Timur, pada tahun 1885 kepangeran itu
disatukan membentuk satu negara kesatuan yang menyatakan merdeka pada
tahun 1908 dengan nama kerajaan
Bulgaria. Pada tahun 1946 ada pengambil alihan oleh partai komunis yang
membubarkan monarki dan mengganti Bulgaria sebagai negara republik sosisalis.
Pada tahun 1950, sepertiga dari wilayah Bulgaria adalah Muslim.
Sekitar 500.000 dari mereka adalah orang Pomak yaitu Muslim yang berbahasa
Bulgaria. Pada tahun 1876, Muslim merupakan mayoritas di banyak kota utama
seperti Varna, Plovdiv (filipe), Pleven dan sebagainya. Muslim juga minoritas
yang penting di Kota Sofia.
Pada
tahun 1908 setelah kemerdekaan ada tingkat penganiayaan terhadap komunitas
muslim sangat meningkat, hal ini menyebabkan terjadinya gelombang imigran baru
menuju Turki. Penganiayaan terhadap komunitas muslim ini menyebabkan
berkurangnya penduduk muslim dari sekitar 50% pada 1876 menjadi hanya 13% pada
tahun 1939 dengan hanya 858.000 muslim di antara penduduk yang berjumlah
6.600.000 orang. Penganiayaan dan pengusiran terhadap komunitas muslim
berlanjut pada tahun 1951 selama tahun pertama rezim komunis memimpin, hal itu
membuat sekitar 160.000 oramg muslim Bulgaria di paksa menuju Turki.
Bulgaria
mempunyai wilayah seluas 110.912 kilometer persegi, berpenduduk 8.814.000 orang
pada tahun 1982. Tahun yang sama penduduk muslim sekitar 1.700.000. muslim Bulgaria penganut mazhab hanafi.
Diperkirakan mereka terbagi kedalam tiga kelompok; orang Turki termasuk Tartar
(sekitar 1.050.000 orang di tahun 1982); orang Promak atau muslim Bulgaria
(370.000 orang di tahun 1982); dan Gypsy (diantaranya sekitar 280.000 orang adalah
muslim pada tahun 1982). Jadi,di samping pengusiran terus-menerus, perbandingan
penduduk muslim dengan keseluruhan
penduduk meningkat dari 13% pada 1939 menjadi sekitar 17% pada tahun 1971,dan
19,3 % pada tahun 1982.[20]
Secara geografis, wilayah muslim di
bagi di dua daerah terpisah, di timur laut dekat perbatasan Rumania, dan di
barat daya dekat perbatasan Yunani, Muslim mayoritas di Bulgaria ada di tujuh
provinsi di timur laut (Silistra, Tulbuhin, Razgrad, Shumen dan Turgovi),
mereka berbahasa Turki, dua provinsi lain ada di sebelah selatan (Smolyan dan
Kurzali) adalah kubu Promak. Pada tahun 1966 ada 1.300 masjid, di antaranya
1.180 berbahasa Turki dan 120 berbahasa Bulgaria. Misalnya Masjid Banya Bashi
yang dibangun pada tahun 1576 oleh arsitek terkenal Kerajaan Ottoman yaitu
Sinan, merupakan satu-satunya masjid yang masih berfungsi setelah 500 tahun
penguasaan Ottoman di Sofia, ibu kota Bulgaria. Dan Masjid Tumbul yang terletak
di Shumen yang merupakan masjid terbesar yang di bangun tahun 1744. Pada tahun
1956 sekitar 2.715 imam melayani komunitas muslim. Orang-orang muslim Bulgaria
secara agama di pimpin seorang mufti besar. Bulgaria dibagi menjadi 6 wilayah
keagamaan yang mana wilayah tersebut mempunyai Majlis Ul-Ulema. yang
berbahasa Turki yang berkedudukan di Burgaz dipimpin oleh Mufti Imam Hasan
Adamof dan yang berbahasa Bulgaria berkedudukan di Smolyan dipimpin oleh Mufti
Imam Husayn Seferkov.
Orang muslim Bulgaria
mengalami penindasaan agama yang sangat memprihatinkan selama bertahun-tahun
semasa pemerintahan rezim Todor Zhivkov, karena secara tradis gereja ortodoks
masih menganggap mereka sebagai orang asing, meskipun sebenarnya mereka etnik Bulgaria.
Hal ini
menjadi perkara yang mewajarkan penindasan terhadap kepercayaan islam.
Bulgaria telah
,menikmati kebebasan beragama setelah jatuhnya rezim Todor Zhivkov pada tahun
1989. Banyak masjid baru yang dibangun di beberapa wilayah, beberapa wilayah
telah mengatur kursus pengajian Al-Qur’an untuk penduduk Muslim Bulgaria,
karena pemgajian Al-Qur’an sangat ditentang dan dilarang semasa pemerintahan rezim Zhivkov). Orang
islam juga mulai menerbitkan surat kabar
sendiri yaitu Musulmani dalam kedua bahasa Bulgaria dan Turki.
4.
Albania
Albania
merupakan sebuah negara yang terletak di Eropa bagian tenggara. Albania
berbatasan dengan Montenegro di sebelah utara, Serbia di sebelah timur laut,
Makedonia di timur dan Yunani di selatan. Laut adriatik terletak di sebelah
barat sedangkan laut lonia dibarat daya. Secara teoretis, Albania adalah negara
Eropa dengan penduduk mayoritas muslim di bandingkan yang lain. Orang muslim
Albania walaupun secara teoretis mayoritas muslim tetapi pada kenyataannya diperlakukan
minoritas walaupun dalam jumlahnya mayoritas, faktor tersebut karena pemerintah
Albania mengikuti paham ateisme yang paling fanatik,dan juga karena faktor
kurangnya media pendukung muslim albania dalam menyampaikan atau menyalurkan aspirasinya.
Pada tahun
1971, penduduk albania sekitar 2.220.000, di antaranya 1.500.000 adalah muslim.
Jadi sekitar 71% dari seluruh penduduknya terdiri dari orang muslim. Angka
alami pertumbuhan pendududk Albania
merupakan salah satu terbesar di dunia, hasilnya jumlah penduduk Albania pada
tahun 1982 diestimasikan sebesar 2.810.000, di antaranya 2.110.000, atau 75%
diestimasikan terdiri dari orang-orang muslim. Menurut rasnya, orang Albania
adalah keturunan orang Illyria, penduduk kuno kawasan Balkan sebelum serbuan orang-orang
Yunani dan Slavia. Orang-orang muslim Albania penganurt sunni, pengikut mazhab
hanafi. Orde sufi bektashi mempunyai pengaruh besar di Albania.[21]
Pada tahun
1430 hingga lima abad kemudian, telah membuat islam tersebar di Albania. Pada
tahu 1912 Albania menyatakan
kemerdekaannya. Namun pada tahun 1945 dengan naiknya Enver Hoxha yang menganut
paham komunis ke kursi keprisidenan, muslim Albania mengalami era yag represif
dan mencekam. Enver Hoxha membatasi kebebasan beragama arang-orang albania dan
bahkan sampai menghancurkan masjid-masjid di Albania.
Sesudah tahun
1946, paham komunis mulai berusaha melakukan penyusupan ke dalam sistem
keagamaan islam, hanya pemimpin agama yang setia kepada penguasa sepenuhnya
saja yang dipercaya diizinkam untuk bertahan. Segala bentuk dari penyusupan dan
kebijakan penindakan kasar puncaknya pada tahun 1967, ketika segala aktifitas
keagamaan (muslim dan kristen), dengan menutup semua masjid dan gereja di
Albania, dengan memenjarakan imam dan menghancurkan segala literatur muslim.
Dan puncaknya menyatakan Albania merupakan negara ateis pertama di dunia. Pada
tahun 1976, pemerintah melangkah lebih jauh dan melarang penggunaan nama-nama
muslim.
Setelah
meninggalnya Enver Hoxha pada tahun 1985
dan melemahnya rezim komunis, kondisi di Albania mengalami perubahan. Pada
tahun 1990, aktivitas yayasan religius dan masjid-masjid kembali meraih
kebebasan. Pada bulan maret tahun berikutnya, diadakan pemilu parlemen yang
bebas unruk pertama kalinya. Presiden Sali Berisha adalah presiden pertama
Albania pasca era komunis. Pada masa pemerintahannya ada usaha-usaha
pembangunan kembali tempat-tempat ibadah dan perluasan hubungan dengan negara-negara
muslim. Bahkan pada masa itulah Albania resmi menjadi anggota Organisasi
Konferensi Islam (OKI).
Masjid selalu
menjadi pusat dari kegiatan kaum muslimin karena masjid memberikan semangat dan
makrifat kepada mereka. Begitu pula dengan Albania, masjid memiliki peranan
penting dalam menumbuhkan semangat keislaman di hati kaum muslimin Albania. Di
setiap lapangan utama paada setiap kota di Albania selalu terdapat sebuah
masjid. Hal imi membuktikan bahwa masjid adalah tempat yang sangat penting bagi
masyarakat Albania. Sebelum berkuasanya rezim komunis, jumlah masjid di Albania
mencapai 600 masjid dan memiliki peran yang lebih aktif dari pada era sekarang
ini. Selama pemerintahan rezim komunis, masjid-masjid di negara itu ditutup dan
sebagiannya bahkan dihancurkan. Setelah runtuhnya rezim komunis, masjid-masjid
itu kembali dibangun dan sekarang jumlah masjid yang aktif melakukan berbagai
kegiatan keagamaan mencapai 350 masjid. Selain masjid, juga ada pusat-pusat
kegiatan kaum muslimin yanag lainnya, misalnya husainiyah atau yayasan-yayasan
keislaman.
Secara formal
pengajaran agama islam dilakukan secara terpusat. Lembaga pengajaran tertentu
memiliki tanggungjawab dalam mengajarkan
agama islam kepada pelajar. Lembaga-lembaga pengajaran ini merupakan pengganti
dari sekolah-sekolah agama sebelumnya yang melakukan kegiatan secara
terpisah-pisah dan tersebar di setiap masjid. Lembaga pengajaran agama terbesar
terletak di Tirana, ibu kota Albania. Di sekolah agama ini diajarkan sedemikian
rupa akan terhindar dari pertentangan antar mazhab. Lukisan dari lembaga
pengajaran ini memiliki peran besar dalam membangkitkan semangat keislaman kaum
muslimin pada era komunis dan akibatnya banyak pula diantara mereka yang
dipenjarakan oleh rezim komunis.
Meskipun islam
adalah agama mayoritas masyarakat Albania dan keislaman telah menjadi jati diri
mayoritas rakyat Albania, namun perhatian yang ditunjukan pemerintah Albania
berkurang dari tahun ke tahun terhadap perluasan pengajaran islam tidak
memuaskan. Dalam UUD negara ini, islam tidak disebut dalam agama resmi negara.
Bahkan saat ini tampak usaha-usaha untuk menjadikan negara muslim ini sebagai
negara muslim sekuler. Hal ini antara lain meupakan akibat letak dari geografis
di Eropa, yaitu di tengah negara-negara non islam dan juga akibat dari
sisa-sisa peninggalan era komunis dulu.
5.
Prancis
Prancis mempunyai wilayah 57.026 kilometer persegi dan pada tahun 1971 berpenduduk 54.350.000
orang. Secara administrative, Prancis dibagi ke dalam dua puluh empat kawasan.
Mayoritas penduduk Muslimnya berasal dari daerah koloninya. Pada 1990, Imperium
Prancis termasuk di dalamnya banyak negeri Muslim, yang terpenting adalah
Aljazair. Namun, sampai waktu itu, emigrasi Muslim ke Prancis masih tak
berarti. Memang pada tahun 1990, hanya ada 1.000 orang Muslim di Prancis.
Mereka menjadi 6.000 pada 1912.[22]
Dari 2,5 juta Muslim di
Prancis pada tahun 1982, sekitar 1.960.000 berasal dari Afrika Utara. Lainnya
datang dari Afrika Hitam, Yugoslavia, Arab Timur, Turki, dan Iran. Ada sekitar
70.000 Muslim berasal dari etnik Prancis. Memang, kecenderungan pindah agama ke
Islam telah mulai pada pergantian abad, dan banyak orang Prancis telah menjadi
Islam untuk dua atau tiga generasi. Kebanyakan Muslim Prancis penganut Mazhab
Maliki.
Secara geografik,
orang-orang Muslim ada di semua bagian Prancis, dengan konsentrasi lebih besar
di daerah-daerah Paris (Region Parisienne), Marseilles (Provence
Cote-d’Azur) dan Lyons (Rhones-Alpes). Kebanyakan Muslim Prancis
menduduki jabatan yang kurang menarik dan merupakan “proletariat” kota-kota
Prancis. Sedikit minoritas merupakan kelas profesional, terutama di daerah
Paris. Pada prinsipnya dan dalam penampilan, hak-hak Muslim sebagai perorangan
dihormati oleh hukum Prancis. Namun sabagai komunitas, Muslim Prancis menderita
karena sikap anti Islam yang mengikuti kembali perspektif masa Perang Salib,
dan dari kenangan rasisme periode kolonial. Pengaruh komunitas Muslim di
Prancis praktis dapat diabaikan di semua bidang, terutama jika dibandingkan
dengan komunitas Yahudi dan Protestan yang jauh lebih kecil.[23]
Organisasi
Gerakan Umat Islam Kaum Muslim Prancis mengambil keuntungan dari Undang-Undang
3 Oktober 1981, yang memberi orang asing
hak berkumpul. Pada tahun 1992 perhimpunan Muslim mencapai sekitar 1.300 buah
di seluruh Prancis. Perhimpuanan ini dapat dikelompokan menjadi dua tipe:
keagamaan dan kebudayaan. Kelompok pertama tema sentralnya adalah religius,
umumnya mempunyai gedung sendiri, melakukan pengajaran agama, rasa solidaritas
menjadi ciri utama mereka, dan memakai standar Islam dalam berbagai aspek
kehidupan. Kelompok kedua tidak menjadi agama sebagai tema sentralnya.
Perkumpulan-perkumpulan sosial ini, yang kerap memiliki ruang lingkup nasional
dan selalu berhubungan dengan budaya negeri leluhur, kurang memperhatikan
ketaatan pada agama mereka. Banyak diplopori oleh kaum muda asli Prancis,
seperti Prancis Plus, Generation Egalite, dan Generation Beur. Agenda utama
kaum muda ini dibidang sosial politik, mereka menentang negara yang masih
menganggap umat Islam sebagai warga negara kelas dua.
Menghadapi begitu banyak kecendrungan dan
organisasi, dilakukan usaha-usaha koordinasi dan federasi di tingkat nasional.
Muncul tiga kelompok besar yaitu:
Masjid Paris, FNMP (Federasi Nasional Muslim Prancis), dan UIOF (Uni
Organisasi-Organisasi Islam Prancis). Visibilitas Islam dan perkembangbiakan
organisasi menjadikan agama terpenting kedua di Prancis ini sebagai pusat
pembicaraan mengenai imigrasi. Pemerintah Prancis khawatir dengan campur tangan
asing dalam urusan Islam Prancis. Negara-negara tertentu misalnya campur tangan
dalam rekruitment para imam. Aljajair di antaranya dalam hal mencari imam,
secara ideologis dekat dengan Masjid Paris. Selain itu masalah-masalah tertentu
yang terkait dengan struktur kehidupan sehari-hari Muslim tampaknya sulit
dipecahkan. Beberapa contoh: pemilihan pejabat untuk menjamin penyembelihan
hewan secara halal oleh satu organisasi tersebut di atas juga harus mendapat
persetujuan pemerintah Prancis untuk bekerja di rumah jagal; koordinasi tentang
awal dan akhir Ramadhan; pembentukan "jatah Muslim" di pekuburan yang
menghadap kiblat; dan tidak memadainya jumlah tokoh Muslim yang memberikan
bimbinan spiritual di rumah sakit, rumah tahanan, dan tentara. Ide sekolah
Muslim swasta terus diperdebatkan. Negosiasi panjang mengenai pendirian
Institut Muslim resmi, yang diharapkan mencetak pemimpin keagamaan di Prancis,
tidak pernah terwujud.[24]
Pada tahun 1992, UIOF
meresmikan sekolah teologinya sendiri yang tidak didukung oleh semua asosiasi
Muslim. Karena alasan inilah, FNMF dan Masjid Paris mendirikan institutnya
sendiri-sendiri akhir tahun 1993. Jelas bahwa ada indikasi suatu komunitas
Islam yang mapan dan mantap. Namun, Islam masih merupakan sebuah konsep yang
belum dapat diaphami oleh banyak orang. Kesulitan dengan definisi ini dan
kurangnya juru bicara resmi menyebabkan Menteri Dalam Negeri mendirikan Dewan
Rafleksi Islam di Prancis (CORIF) pada 6 November 1989. Sebuah penasehat
pemerintahan, akan tetapi tidak mewakili organsasi-organisasi Islam yang ada.
Dewan ini bertugas memimpin studi masalah-masalah yang berhubungan dengan
komunitas Muslim serta berusaha meorganisasi perwakilan Muslim di Prancis.
Namun legitimasi CORIF kadang-kadang digugat karena tidak diterima dengan suara
bulat oleh semua perhimpunan di Prancis. Secara umum, pemerintah cenderung
ingin mengendalikan komunitas Muslim yang dinamis ini, namun belum tahu cara
melakukannya. Pemerintah- pemerintah lokal berusaha menghentikan gelombang
ekspansionis sebuah agama yang menurut mereka mencemaskan dengan menolak
otorisasi kontruksi. Peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di masyarakat
Prancis, seperti serangan teroris (versi mereka)
di Paris pada tahun 1986, "kasus jilbab" – suatu perdebatan mengenai
diizinkannya berbusana Islami di sekolah- sekolah umum – tahun 1989, dan buku
yang dianggap provokatif Jean Claude Bareau, De l'Islam en general et de la
laiciate en paarticulier tahun 1991, ditambah dengan masalah-masalah politik
International, berakibat memperkeras opini publik menentang komunitas Muslim. [25]
Memasuki abad 21 umat Islam Prancis semakin mengukuhkan
eksistensinya. Seperti apa yang diperjuangkan oleh muslim Creteil khususnya.
Mereka terus memperjuangkan untuk membangun masjid sebagai
pusat dan simbol keberadaan umat Islam. Berawal dari sebuah tempat bekas gudang
pertukangan kayu, disulap menjadi sebuah masjid. Setiap Jumat, sekitar 200-an
Muslim di Creteil, Prancis, memadati masjid itu. Meski sempit, umat Islam
Creteil tetap bersemangat menjalankan shalat Jumat. Tak hanya laki- laki, kaum
wanita juga tak mau ketinggalan. Creteil terletak di tenggara Paris. Di
Prancis, Creteil merupakan kota dengan penduduk Muslim terbesar, bahkan mungkin
untuk seluruh daratan Eropa. Dari sekitar 88 ribu penduduk kota kecil itu, 20
persen di antaranya adalah Muslim. Karena itu, tak mengherankan jika setiap
datang waktu shalat wajib masjid itu selalu penuh sesak. Karim Benaissa, 44
tahun, berasal dari Aljazair sebagai ketua Asosiasi Uni Muslim Creteil,
terpaksa memasang papan-papan kayu untuk menampung luberan jamaah. Dia salah
satu yang memprakarsai pembangunan mesjid Creteil. Pemandangan seperti itu
sudah berlangsung bertahun-tahun, dan mungkin akan terus seperti itu, hingga
masjid yang kini tengah dibangun selesai pada Juni 2008. Kelak jika masjid di
Creteil itu benar-benar berdiri, maka itulah masjid pertama terbesar yang
pernah dibangun di Eropa (Barat) dalam 100 tahun terakhir. Sebuah masjid yang
oleh Molly Moore, periset dari Corinne Gavard , disebut sebagai masjid
"pengecualian" di tanah Eropa.
Pembangunan masjid ini dibantu dan didukung oleh pemerintah daerah
Creteil, termasuk biayanya. Terletak di bukit kecil, di sebuah danau tak jauh
dari balai kota dan pos polisi Creteil, masjid yang bisa menampung 2.500 jamaah
dan memiliki 81 menara ini menelan biaya US$ 7,4 juta (sekitar Rp 70-an
miliar). Menurut Walikota Creteil, Laurent Cathala, pihaknya tidak ingin
menyembunyikan pembiayaan, dan pembangunan masjid di Creteil karena itulah cara
memperkecil gerakan bawah tanah Islam di Prancis. Di tengah-tengah sikap
paranoid masyarakat Eropa terhadap Islam, terobosan Laurent Cathala merupakan
langkah berani. Hal ini mengingat, seperti dicatat Molly Moore, pemerintah
Prancis sudah banyak mengembalikan para imam masjid ke negara-negara asalnya.
Para anggota parlemen di Creteil yang anti imigran bahkan sangat gencar
memprotes penggunaan dana-dana negara untuk pembangunan masjid itu. 22 Paranoid
dan diskriminasi terhadap Islam tidak hanya di Creteil Prancis, tapi juga
melanda hampir seluruh Eropa. Setengah abad terakhir, benua itu memang sedang
mengalami perubahan demografi yang dramatis sehingga menakutkan sebagian
warganya. Hal ini akibat makin pesatnya perkembangan Islam disana. Pembangunan
masjid di Creteil adalah kisah tentang perjuangan kaum Muslim, dan upaya
menegakkan keadilan dari seorang pejabat pemerintah bernama Cathala. Ide
pembangunannya sendiri sebenarnya merupakan gagasan 15 tahun lalu, dan tertunda
menyusul pertikaian dalam organisasi Islam setempat. Orang-orang Islam dari
Maroko, Aljazair, dan Tunisia akhirnya sepakat untuk menggunakan bekas tempat
pertukangan kayu sebagai tempat ibadah, meskipun ukurannya tidak cukup untuk
menampung 200 orang. [26]
Menurut Benaissa, pemicu
perselisihan adalah cara berpikir yang berbeda. Kaum tua tetap
menginginkan keterikatakan dengan negeri asal. Sedang generasi muda yang lahir
di Prancis ingin sesuatu yang berbeda. Cathala kemudian muncul dengan
menawarkan pembiayaan pembangunan dan pencarian lokasi untuk mendirikan masjid
dalam suatu komplek yang didalamnya ada rumah makan, toko buku, perpustakaan,
aula tempat pameran dan ruang kelas untuk sekolah. Cathala mengajukan sejumlah
syarat. Muslim Creteil harus menunjuk satu juru bicara, arsitektur masjid harus
tidak merusak pemandangan sekitar danau, pembiayaan harus transparan, dan
komplek masjid terbuka bagi semua penduduk, baik Muslim atau non
Muslim. Islam
adalah agama terbesar kedua setelah Nasrani di Eropa. Dari total penduduk
sekitar 65 juta jiwa, 5 juta atau 8 persen di antaranya Muslim.
Sebagian besar dari mereka adalah keturunan kedua, lahir dan besar di Eropa.
Menurut Moore, pembangunan tempat ibadah seperti masjid sangat sulit terwujud
di Eropa. Dari London, Inggris hingga Cologne, dan Marseille, Prancis, penduduk
dan pemerintah negara-negara Eropa terus disibukkan dengan penolakan pembangunan
masjid. Mereka menentang pembangunan masjid karena dianggap bisa memengaruhi
keamanan nasional, dan kepribadian mereka. Informasi terkini dari Kementerian
Dalam Negeri Prancis mencatat ada sekitar 1.500 tempat ibadah kaum Muslim di
Prancis. Hanya 400 yang berupa masjid. Selebihnya berupa gedung olahraga,
apartemen, atau toko yang sudah tak berfungsi. Yang digunakan sebagai tempat
beribadah umat Islam. Pembangunan masjid Creteil bukan tanpa hambatan. Pihak
bank tiba-tiba secara sepihak menutup rekening yang digunakan Asosiasi Islam
Creteil. Alasannya, banyak masjid di Prancis yang dibiayai donatur tanpa nama dari luar
negeri. Ini salah satu contoh sikap diskriminatif terhadap umat Islam. Kini, Masjid Creteil tengah dalam
pembangunan. Keberanian Cathala hampir membuahkan hasil. Kubah- kubah masjid
dan jendela yang memesona sudah mulai tampak. Kaum Muslim Creteil telah
membangun sebuah masjid unik lebih dari sekadar meniru arsitektur Masjid Sofa
Turki, dan masjid-masjid di Timur Tengah. 23 Masjid juga
sebagai simbol dan pengakuan keberadaan umat Islam di sana.
6. Jerman Barat
Jejak modern pertama
kehadiran Muslim di Jerman berasal dari abad 18 ketika Prusia dan Negara Usmani memutuskan untuk saling tukar-menukar kedutaan. Selama periode yang
sama sebuah masjid dibangun di Schwatzingen (dekat
Stuttgard) oleh seorang bangsawan Jerman yang masuk Islam. Inilah masjid
pertama di Jerman. Sepanjang abad 19 banyak orang Jerman memeluk Islam. Namun
jumlahnya masih terbatas.[27]
Secara geografis, Muslim
ada di semua negara bagian Jerman, dengan berorientasi lebih tinggi di Bayern (
sekitar 250.000 Muslim) dan Rhenania-Westphalia ( sekitar 400.000 Muslim). Ada
600.000 anak dalam komunitas tu dan 40.000 mahasiswa ( dari negara asing) di
universitas-universitas dan sekolah-sekolah profesional. Selain mahasiswa dan
beberapa ribu profesional, kebanyakan Muslim di Jerman Barat adalah pekerja
kasar yang menduduki jabatan-jabatan yang kurang diinginkan. Secara politis,
pengaruh komunitasMuslim itu tidak berarti, bahkan diantara mereka yang
merupakan warga negara Jerman.
Pada tahun
1987 di Hamburg dibangun sebuah lembaga keislaman bernama Islamic Center
Hamburg yang diprakarsai oleh orang-orang Islam Iran (Syiah). Namun dalam
penggunaannya dilakukan oleh semua umat Islam baik Syiah atau Sunni. Diantara
kegiatan rutinnya adalah pengajian berbagai kelompok dengan hari dan jadwal
berlainan, pengajian Al-Quran, diskusi, seminar dan lain-lain. Penerbitan
majalah Islam dalam bahasa Jerman yaitu “ Al-Fadschr ”. Selain itu banyak
masjid-masjid sebagai pusat kegiatan dan gerakan umat Islam yang diurus oleh
masing-masing kelompok, seperti masjid Turki, Indonesia, dan lain-lain. Di
daerah-daerah lain melakukan hal yang sama seperti Islamic Center Munchen ,
kota ini dikenal sebagai kota ilmu pengetahuan. Pada tahun 1981 mendirikan
skolah-sekolah untuk anak-anak Muslim di Munchen, penerbitan majalah Islam
berbahasa Jerman, penerbitan buku-buku keislaman, dan lain-lain. Begitu juga
Islamic Center Aachen upaya yang diprakarsai oleh para mahasiswa muslim mereka
mendirikan pusat-pusat kegiatan dakwah Islam di jerman bahkan pusat untuk Eropa.
Secara hukum, komunitas
Muslim Jerman Barat terhalang oleh kenyataan bahwa kebanyakan anggotanya adalah
orang asing. Walaupun hak-hak Muslim secara perorangan makin dihormati, tetapi
komunitas Muslim secara keseluruhan tidak diakui oleh Republik Federal sebagai
sutu komunitas keagamaan dengan akibat bahwa Muslim sebagai komunitas tidak
memilik hak. Lebih dari tiga puluh tahun, komunitas telah meminta pengakuan
(kopershacft), tetapi tidak membawa hasil. Orang-orang Jerman yang masuk Islam
mendapat perlakuan diskriminatif secara tidak langsung dan banyak yang merasa
terpaksa memelihara keyakinannya secara rahasia.[28]
Jadi, seperti di Prancis, masalah dasar bagi komunitas Muslim di Jerman Barat adalah masalah
organisasi. Namun hal ini merupakan proses transisi yang normal, dan
rupa-rupanya komunitas itu sedang menuju ke arah organisasi nasional. Mungkin
baru kemudian nanti otoritas Jerman akan mendapat tekanan untuk mengakui
hak-hak komunitas Muslim sehingga besikap atas dasar yang sama dengan komunitas
keagamaan lain di negeri itu. Jika tidak demikian, masa depan Islam di Jerman
Barat akan tetap tidak dapat diramalkan.
7.
Italia
Menurut
statistik resmi Italia terakhir, pada 1 Januari 2015 Muslim mencapai sekitar
34% dari 2.400.000 penduduk asing yang tinggal di Italia. Sebanyak 820.000
penduduk asing tersebut merupakan sejumlah Muslim yang secara resmi bertempat
tinggal di Italia.[29]
Di
samping imigran legal menunjukkan minoritas keberadaan Muslim di Italia, isu
Islam di Italia saat ini berhubungan dengan beberapa partai politik (khususnya
'Luga Utara' atau 'Lega Lombarda') dengan imigrasi, dan imigrasi ilegal yang lebih
spesifik. Imigrasi telah menjadi isu politik yang terbuka, ketika, khususnya di
musim panas, laporan muatan kapal imigran ilegal atau program berita dominasi clandestini.
Kepolisian
tidak memiliki keberhasilan besar dalam meninterupsi banyaknya ribuan clandestini
yang menepi di pantai Italia, terutama karena panjangnya garis pantai Italia
semata: total sekitar 8.000 km . Namun, banyak clandestini yang
berlabuh di Italia
hanya menggunakan Italia sebagai jembatan menuju negara UE lain, karena fakta
bahwa Italia tidak memiliki banyaknya peluang ekonomi untuk mereka seperti Jerman atau Perancis, dan
kurang lebih iklim yang tidak bersahabat untuk keberadaan mereka, juga dengan
ketaatan beragama umat Katolik Italia.
Jumlah
Muslim asing yang telah berkedudukan warganegara Italia diperkirakan antara
30.000 hingga 50.000, jika Muslim Italia (dari marga Italia yang sebelumnya
termasuk penganut Katolik atau tidak memiliki agama lalu masuk Islam)
diperkirakan kurang dari 10.000.
Karena
itu, pada tahun 2005 jumlah Muslim yang tinggal di Italia diperkirakan menjadi
antara 960.000 hingga 1.030.000, dengan perkiraan rata-rata mendekati angka
jutaan di mana media Italia sudah mulai mengadopsi yang merujuk pada populasi
Muslim di Italia.
Keberadaan
Muslim saat ini 1.4% dari populasi Italia, persentase rendah dari negara UE
besar lain, dan masih turun dari yang tercatat di Italia antara pertengahan
abad ke-9 dan akhir abad ke-13, sebelum perpindahan qpasukan Muslim terakhir di
Puglia tahun 1300.
Saat
zaman Pertengahan, populasi Muslim bertotal hampir berpusat di Insular
(Sisilia, Sardinia) dan (Calabria, Puglia) Italia Selatan, saat ini lebih rata
penyebarannya, yang hampir 55% Muslim mendiami Utara Italy, 25% di Pusat, dan
hanya 20% di Selatan.
8.
Yugoslavia
Asal-usul
kebangsaan Muslim Yugoslavia yang paling banyak adalah dari Bosnia yaitu
sebanyak 2.340.000 di tahun 1981 yang bersama-sama dengan asal ras dan bahasa
Serbo-Kroasia. Mereka sangat berpengalaman dan terintergrasi dengan baik dalam
kehidupan politik negeri itu. Yang kedua dalam jumlah adalah Albania yaitu
sebanyak 1.730.000 pada tahun 1981 yang terutama tinggal di Negara Bagian
Kossovo, tetapi juga di daerah-daerah tetangga. Orang Turki hanya sekitar
120.000 pada 1981, terpusat di Macedonia dimana mereka mempunyai 65 sekolah
dasar. Muslim Gypsy (100.000 pada 1981) adalah diantara orang Muslim yang paling miskin dan
kebanyakan hidup secara nomadik dalam federasi. Ada juga beberapa ribu orang
Muslim yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Kroasia, Serbia, Macedonia,
Circassia, dan sebagainya. Namun, semua kelompok Muslim yang lebih kecil
cenderung diserap oleh kedua kelompok yang lebih besar yaitu Bosnia dan
Albania.
Jadi,
situasi Muslim di Yugoslavia semakin bertambah baik. Mereka memiliki ciri-ciri
dapat hidup terus dan sebagai komunitas yang terintregasi dengan baik serta
mempunyai tingkat kebebasan beribadah yang layak. Hubungan mereka dengan dunia
Muslim semakin meningkat, banyak mengirimkan delegasinya ke negara-negara
Muslim, banyak melakukan pertukaran pelajar, dan sekitar 2.000 jamaah haji
pergi ke Mekkah setiap tahun. Pemerintah Yugoslavia telah membangun modal rasa
hormat dalam negara-negara Muslim karena mereka memperlakukan masyarakat Muslim
di negaranya sendiri dengan adil.
9.
Belanda
Di Belanda, sekitar satu persen
dari penduduknya adalah Muslim yaitu sekitar 132.000 pada tahun 1971. Pada
tahun 1982 angka ini naik menjadi sekitar 400.000 (2,8% dari jumlah penduduk). Imigran Muslim pertama
kali masuk ke Belanda pada tahun 1950, mereka merupakan para pendatang yang
berasal dari Indonesia dan Suriname yang berjumlah hanya 5000 orang[30].
Pada tahun 1982, diantara Muslim di Belanda ada sekitar 200.000 orang
Turki, 100.000 orang Afrika Utara, 40.000 orang Melayu (Indonesia dan Malaysia)
dan 40.000 Muslim dari berbagai negara termasuk sekitar 2.000 orang Belanda
yang masuk Islam. Di Amsterdam tinggal sekitar 60.000 Muslim. organisasi Muslim
pertama yang brusaha menghimpun semua Muslim yang bberasal dari bangsa yang sama
didirikan pada 1960-an. Pada tahun 1974,
organisasi–organisasi ini disatukam membentuk Persatuan Organisasi-Organisasi
Islam (Islamic Organization Union) Belanda. Ada sekitar 300 masjid sementara di
negara itu. Kedutaan negara-negara Muslim
merencenakan suatu Pusat Islam di Amsterdam. Pemerintah mengakui perkawinan
Islam, tetapi Islam tidak diakui atas dasar yang sama dengan badan keagamaan
lain. Tidak ada sekolah Islam, tetapi pendidikan Islam sebagiannya diberikan
kepada anak-anak Muslim di sekolah-sekolah negeri oleh guru-guru yang dikirim
oleh Turki dan Maroko.
Kesimpulan
Di antara komunitas Muslim yang relatif besar, komunitas Muslim
Eropa Timur (Yugoslavia, Bulgaria, Albania) merupakan penduduk pribumi dan
secara keagamaan mereka terorganisasi dengan baik serta berurat akar di
negerinya. Di tiga negara ini, hanya Muslim di Yugoslavia yang tampaknya dalam
keadaan agak bagus dan situasi yang membaik. Di negara-negara lain, situasi itu
jauh lebih jelek daripada keadaannya sebelum Perang Dunia II. Di Bulgaria,
komunitas Muslim secara serius terancam. Namun di Albania, kenyataan bahwa
orang-orang Muslim membentuk penduduk yang besar sekali dan bahwa Islam
terintergrasi secara penuh dengan kebangsaan Albania menimbulkan harapan bahwa
dalam perjalanan waktu keadaan yang penuh bahaya akan berakhir dan akan diingat
sebagai mimpi buruk yang tidak mengakibatkan kerusakan apapun[31].
Komunitas Muslim Eropa Barat (Prancis, Jerman Barat, Inggris)
adalah penduduk Muslim yang merupakan hasil dari zaman kolonial. Mereka masih
dalam proses mengorganisasi diri. Secara organisasi, Inggris merupakan negara
yang paling maju, sedangkan Prancis adalah negara paling kurang kemajuannya.
Mereka juga masih berjuang demi akseptabilitas di negaranya masing-masing.
Biaya pembangunan lembaga-lembaga Muslim berasal dari iuran
perorangan. Awqaf lama di Eropa
Timur semuanya telah disita oleh para penguasa[32].
Kebutuhan komunitas dan aktivitas misionaris Kristen Eropa tidak sebanding
dengan dukungan dari negara-negara Muslim yang dirasakan masih sangat terbatas.
Seringnya, dukungan itu justru diarahkan pada pusat-pusat Islam yang tidak
diurus oleh komunitasnya serta sangat terbatas pengaruhnya bagi masa depan
komunitas itu.
Terkecuali Yugoslavia dan Prancis, pengetahuan bahasa Arab tidak
tersebar. Namun bacaan Islam telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa
Serbo-Kroasia, Inggris, Albania, Prancis dan Jerman menurut urutan kepentingan.
Tak ada bacaan Islam berkembang dengan baik dalam bahasa Bulgaria[33].
Kesimpulannya, sikap modern Eropa terhadap Islam keseluruhannya
sangat lebih baik daripada di masa lalu walaupun masih berbeda dalam demokrasi
Barat dengan prinsip yang mereka tegaskan tentang kebebasan berkeyakinan.
Memang, Muslim di negara-negara ini masih dihadang oleh prasangka non-Muslim
yang sebenarnya. Penolakan terus-menerus, penyiksaan, tanpa pengakuan tersebar
luas, dengan pengecualian yang jarang seperti tersebut di atas, dan tidak
tergantung pada sistem politik yang berlaku. Misalnya, Islam praktik bebas di
Yugoslavia, tetapi dianiaya di Bulgaria, di blok negara komunis. Di negara
Barat, Islam tidak diakui di Prancis, Jerman Barat, dan Inggris. Namun, dengan
adanya alat-alat komunikasi modern, tak ada komunitas yang sepenuhnya dapat
diputus hubungannya dengan Ummah Muslim lainnya. Dengn alasan ini saja,
rupanya Islam telah menanamkan akar-akarnya dengan cukup di Eropa guna
menimbulkan harapan bahwa Islam telah datang, tinggal dan tumbuh subur di
samping kesulitan-kesulitan dan rintangan-rintangan yang harus dihadapi.ini
sungguh akan menjadi keuntungan bagi keduanya, Eropa dan Dunia Islam[34]
DAFTAR PUSTAKA
Aliyudin. “Sketsa Dakwah Islam di Eropa Barat”, Jurnal Ilmu Dakwah vol.4 No.11 Januari-Juni 2008 (Bandung: 2008)
Kartini, Indriana.” Minoritas Muslim di
Australia dan Inggris”. vol.3 no.1
2006.
M.Ali Kettani. “Minoritas Muslim di Dunia
Dewasa Ini”. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
Sulasman, “Sejarah Islam di Asia dan
Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern”. Pustaka setia: Bandung., 2013
Yatim, Badri. ” Sejarah Peradaban Islam”. Raja Grafindo Persada: Jakarta. 1993
[1]
M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm.2
[2]
Ibid, hlm.3
[3]
Ibid, hlm.31
[4]
Indriana Kartini. Minoritas Muslim di Australia
dan Inggris., vol.3 no.1 2006. Hlm. 93
[5]
M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini.,
RajaGrafindo Persada: Jakarta. 2005., hlm. 59
[7]
M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini.,
RajaGrafindo Persada: Jakarta. 2005., hlm. 59-60
[8]
Aliyudin, Sketsa Dakwah Islam di Eropa Barat. Jurnal Ilmu Dakwah Vol.4
No. 11 Januari-Juni 2008.hlm. 7
[9]
Indriana Kartini. Minoritas Muslim di Australia
dan Inggris., vol.3 no.1 2006. Hlm. 93
[10]
Ibid. hlm. 94
[11]
M. Ali Kettani., Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini.,
RajaGrafindo Persada: Jakarta. 2005., hlm. 61
[12]
Sulasman, Sejarah Islam di Asia
dan Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern., Pustaka setia: Bandung.,
2013.,
[15]
Sulasman, H., Sejarah Islam di
Asia dan Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern., Pustaka setia:
Bandung., 2013., hlm. 249-250
[16]
Sulasman, Sejarah Islam di Asia
dan Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern, Pustaka setia: Bandung,
2013, hlm. 250
[18]
Sulasman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa : Dari Masa
Klasik Hingga Masa Modern, Pustaka setia: Bandung, 2013. hlm. 251-252
[19]
M. Ali Kettani, Minoritas Muslim
di Dunia Dewasa ini, RajaGrafindo Persada: Jakarta. 2005., hlm.
66-67
[20]
M Ali Kettani, Minoritas Muslim Di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: Raja Grafindo
persada, 2005), hlm. 45.
[21]
M Ali Kettani, Minoritas Muslim Di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: Raja Grafindo
persada, 2005), hlm. 37.
[22]
M.Ali Kettani, MInoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini(Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 51.
[24]
Aliyudin, “Sketsa Dakwah Islam di
Eropa Barat”, Jurnal Ilmu Dakwah vol.4 No.11 Januari-Juni 2008 (Bandung: 2008),
hlm.13
[30]
Ibid, hlm.72
[31]
Ibid, hlm.72
[32]
Ibid, hlm.73
[33]
Ibid, hlm.73
[34]
Ibid, hlm. 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar