Jumat, 07 April 2017

PERKEMBANGAN ISLAM MINORITAS DI BEBERAPA NEGARA BARAT

Latar Belakang
Menurut Webster’s Seventh New Collegiate Dictionary, “minoritas” adalah bagian dari penduduk yang beberapa cirinya berbeda dan sering mendapat perlakuan yang berbeda. Sekelompok orang dapat dikatakan minoritas ketika mereka memiliki ciri-ciri yang berbeda dan menyadari akan hal itu. Ciri-ciri tersebut dapat berbentuk fisik seperti warna kulit dan dapat pula berupa bahasa. Minoritas juga tidak hanya bergantung pada banyak sedikitnya anggota kelompok itu, tetapi juga karena beberapa sebab tertentu.
Istilah “Muslim” dipergunakan untuk menunjukkan semua orang yang mengakui bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah yang terakhir dan mengakui ajarannya adalah benar tanpa memandang seberapa jauh mereka tahu tentang ajaran itu atau seberapa jauh mereka dapat hidup sesuai dengan ajaran itu[1]. Jadi, minoritas muslim dapat didefinisikan sebagai bagian dari penduduk yang berbeda karena anggota-anggotanya adalah Muslim dan sering mendapat perlakuan yang berbeda[2]
Di masa lalu, Eropa telah melihat orang-orang Muslim membentuk diri mereka dan tumbuh dengan subur. Tiga daerah yang paling penting di mana orang-orang Muslim berhasil dengan baik adalah Andalusia (Spanyol dan Portugal Muslim), Sicilia, dan Creta[3].
Komunitas Muslim Eropa yang sekarang masih hidup dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, mereka yang bertahan hidup dengan kejatuhan Usmani dan terkonsentrasi di Eropa Timur. Kedua, mereka yang berimigrisi karena kolonialisasi Eropa pada masa lalu di negara-negara Muslim dan terkonsentrasi di Eropa Barat.
Pada tahun 1982 terdapat sekitar 382 juta orang Muslim di dunia yang hidup sebagai minoritas. Benua Eropa berada di urutan ketiga yaitu dengan jumlah Muslim sebanyak 34 juta orang.                                                                                                               



PERKEMBANGAN ISLAM MINORITAS DI BEBERAPA EROPA
   1.      PERKEMBANGAN ISLAM MINORITAS DI INGGRIS
A.    Sejarah Masuknya Islam Di Inggris
Tak ada informasi pasti kapan tepatnya agama islam masuk ke Inggris, akan tetapi setidaknya terdapat catatan yang menyebutkan bahwa pada abad ke-10 telah ada Muslim yang menginjakkan kakinya di negeri yang di sebut dengan Al-Bartun itu.  Kaum muslim kian banyak di jumpai di Inggris, terutama terjadi di era imperialisme dan kolonialisme inggris yang mencaplok banyak kawasan timur  yang komunitasnya mayoritas muslim, termasuk khususnya dari Asia Selatan. Seiring dengan hadirnya “komunitas baru ini” sejak 1919-an mulai  bermunculan boarding-house yang didirikan sekaligus dihuni oleh komunitas muslim.[4]
Imigran Muslim pertama ke Inggris adalah orang Yaman dari Aden. Mereka menghimpun diri di Cardiff dan disitu mereka membangun salah satu masjid pertama di negeri itu pada 1870. Sebelum pergantian abad datang kelompok Muslim lain dari India dan menetap di dekat London, disana mereka membangun masjid Shah Jehan di Woking. Selama pertengahan pertama abad ini orang Muslim datang ke Inggris dari Cyprus, Mesir, dan Irak. Menjelang Perang Dunia II, penduduk Muslim Inggris telah berjumlah 50.000 orang. [5]
Imigrasi meningkat secara dramatik sesudah perang, sehingga pada tahun 1951 jumlah Muslim menjadi 2 kali lipat yaitu, 100.000 orang. Imigrasi mencapai puncaknya pada tahun 1960-an, terutama dari India, Pakistan, dan Bangladesh. Namun pada 1970-an, pemerintah Inggris lebih keras mengenai imigrasi asing dari negeri bekas jajahan, akibatnya aliran orang-orang Muslim dari luar baru-baru ini telah melambat.[6]
Pada 1971, ada sekitar setengah juta Muslim di Inggris, atau 1,8% dari jumlah penduduk. Angka ini pada 1982 naik menjadi 1.250.000 Muslim (2,2% dari penduduk). Pada 1982 sekurang-kurangnya 700.000 dari jumlah Muslim adalah warga negara Inggris.  Mereka berasal dari negeri di mana orang Muslim jumlahnya lebih besar atau setidak-tidaknya mempunyai komunitas besar untuk waktu lama. Orang pindah agama dari Islam ke Inggris dan India Barat berjumlah beberapa ribu. Kebanyakan mereka berasal dari anak benua India (sekitar 900.000 orang). Lainnya dari beberapa negara lain diantaranya datang dari Cyprus, Yaman, Irak, dan Palestina. Juga ada sekitar 30.000 mahasiswa Muslim di berbagai Universitas Inggris. Mayoritas Muslim di Inggris bermadzhab Hanafi, sisanya Syafi’i, Ja’fari atau Ismaili.[7]
Jumlah penduduk Muslim Inggris menurut sensus tahun 1991 sekitar 1,25 dan 1,5 juta jiwa. Hal ini berdasarkan dengan negara kelahiran yang dianggap memeluk agama Islam, Bangladesh: 160.000; Pakistan: 476.000; India: 134.000; Malaysia: 43.000; Arab: 134.000; Turki: 26.000; Siprus Turki: 45.000; dan Afrika Sub-Sahara: 115.000.10[8]
Berdasar data yang diterbitkan Minority Rights Group International pada Agustus 2002 tergambar bahwa komunitas Muslim tersebar. Muslim terbanyak tinggal di London (1 juta), lalu Bradford (82.750), Scotland (60.000), Wales (50.000), Leeds (30.000) , Oldham (25.000), Lecester (25.000) , Birmingham (15.0000) dan Irlandia Utara (4.000). Dari seluruh komunitas Muslim, sebagian besar berasal dari sub kontinen India, Turki, serta sebagian keturunan Timur Tengah dan atau Afrika.[9]
Generasi awal Muslim Inggris tidak semuanya kaum pendatang. Shaikh Abdullah Quilliam adalah salah satunya. Keislaman mualaf yang intelektual dan aktivis ini diikuti banyak orang, termasuk sejumlah ilmuwan bereputasi. Sebagai intelektual, Quilliam sangat produktif dalam menulis tentang Islam. Bahkan, tulisannya berjudul “The Faith of Islam” diterjemahkan ke dalam 13 bahasa. Tak sedikit komunitas Inggris pada tahun 1880-an tertarik menjadi Islam lantaran terpengaruh tulisan dan aktivitas Quilliam ini. Tahun 1891, Quilliam mendirikan masjid dan akademi yang mengelola bermacam-macam kegiatan seperti sekolah, literary society, oriental library, museum, serta menerbitkan jurnal The Crescent (terbit mingguan) dan Islamic World (terbit bulanan).[10]
B.     Pendirian Lembaga-Lembaga dan Organisasi Dakwah Islam
Usaha komunitas Muslim mengenai organisasi masih dalam tahapan pertama. Kebanyakan Muslim di negeri itu sudah terorganisasi pada skala lokal yang berada di dalam sekitar 200 organisasi keagamaan lokal. Biasanya masing-masing organisasi lokal ini mempunyai masjidnya sendiri untuk seluruh orang Muslim di satu kota atau bagian dari kota itu. Kebanyakan dari masjid ini merupakan masjid sementara, tapi ada juga yang merupakan pusat komunitas yang luas, dapat disebutkan misalnya Masjid Shah Jehan (Woking, 1970), Masjid Nour Al-Islam (Cardiff), dan masjid-masjid di Conventry, Liverpool, Preston, Birmingham, Manchester, dan Nottingham. Banyak gereja yang ditinggalkan telah dibeli oleh kelompok Muslim setempat dan diubah menjadi Masjid seperti di Manchester, Bristol, dan Sheffield. Ada sekitar seratus masjid di daerah London Raya, lima puluh di Lancashire, empat puluh di Yorkshire dan tiga puluh di Midlands. Ada tiga Masjid di Skotlandia, dua di Wales dan satu di Irlandia Utara (Belfast). Masjid Pusat di London dibuka untuk beribadah pada tahun 1971. Namun, masjid ini tidak diurus oleh komunitas Muslim Britania. Masjid ini dibangun oleh Korps Diplomatik Muslim yang mewakili berbagai negara Muslim. Masjid ini merupakan lembaga untuk komunitas Muslim Britania, walaupun bukan miliknya. Pembangunan masjid ini pada tahun 1940 lalu. Sekarang diurus oleh Dewan Duta Besar. [11]

  2.      Perkembangan Islam Di Spanyol
Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir, sekitar tujuh setengah abad lamanya, Islam memainkan peranan yang besar, baik dalam bidang kemajuan intelektual, (filsafat, sains, fiqh, musik, kesenian serta bahasa dan sastra) maupun kemegahan bangunan fisik (Cordova dan Granada). Sejarah panjang yang dialami umat Islam di Spanyol dapat dibagi menjadi 6 periode:
1.      Periode Pertama (711-755)
Pada periode ini Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang terpusat di Damaskus. Pada periode ini, stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna dan gangguan-gangguan masih terjadi, baik dari dalam maupun luar.  Gangguan dari dalam berupa perselisihan diantara elite penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat perbedaan pendapat antara khalifah di Damaskus dengan Gubernur Afrika Utara yang terpusat di Khairawan. Masing-masing mengaku bahwa berhak menguasai daerah Spanyol. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali (Gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang sangat singkat. Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan sering terjadinya perang saudara. Hal ini berhubungan dengan perbedaan etnis, terutama antara Barbar asal Afrika Utara dengan Arab. Di dalam etnis Arab pun terdapat dua golongan yang terus-menerus bersaing, yaitu suku Qaisy (Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini sering menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di Spanyol pada saat itu, tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya dalam jangka waktu yang lama.[12]
Karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode ini berakhir dengan datangnya Abd Al-Rahman Al-Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755 M.[13]
2.      Periode Kedua (755-912 M)[14]
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur), tetapi tidak tunduk pada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh Khalifah Abbasiyyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol pada tahun 138/755 M dan diberi gelar Al-Dakhil (yang masuk ke Spanyol). Ia berhasil mendirikan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abdurrahman Al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurrahman Al-Ausath, Muhammad Ibn Abdurrahman, Munzir Ibn Muhammad, dan Abdullah ibn Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi Daulah Abbasiyah di Baghdad. Abdurrahman Al-Nasir mendirikan Universitas Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota Besar Spanyol. Hisyam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang Kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abdul Rahman Al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat juga mulai masuk pada periode ini, terutama pada zaman Abdurrahman Al-Ausath. Ia mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai semarak.
Sekalipun demikian, berbagai ancaman dan kerusuhan terjadi. Pada pertengahan abad ke-9, stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesyahidan (Martyrdom). Namun, gereja Kristen lainnya di seluruh Spanyol tidak menaruh simpati pada gerakan itu, karena pemerintah Islam mengembangkan kebebasan beragama. Penduduk Kristen diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum Kristen.
Gangguan politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu, sejumlah orang tidak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah, pemberontakan yang di pimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang-orang Arab masih sering terjadi.
3.      Periode Ketiga (912-1013)[15]
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahaman III yang bergelar “Al-Nasir” sampai munculnya “raja-raja kelompok” yang disebut dengan istilah “Muluk Al-Thawaif”. Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar Khalifah. Penggunaan khalifah bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrrahman III, bahwa muktadir Khalifah Daulah Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia karena dibunuh oleh pengawalnya. Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini saat yang tepat untuk memakai gelar Khalifah yeang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-kahalifah besar yang memipin pada periode ini ada 3 orang, yaitu Abdurrahman Al-Nasir (912-961), Hakam II (961-976), dan Hisyam II (976-1009 M).
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan Daulah Abbasiyah di Baghdad. Abdurrahman Al-Nasir mendirikan Universitas Cordova. Ia mendahului Al-Azhar Kairo dan Nizhamiyah Baghdad, juga menarik minat para siswa Kristen dan Muslim, baik di Spanyol maupun wilayah-wilayah lain Eropa, Afrika, dan Asia.
Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol terpecah dalam banyak negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
4.      Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh Negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Mulukuth Thawaif yang terpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, Tolado, dan sebagainya. Negara kecil yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini, umat Islam memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, jika terjadi perang saudara, pihak-pihak yang bertikai itu meminta bantuan kepada raja-raja kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik islam, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini, mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana yang lain.[16]
5.      Periode Kelima (1086-1248 M)[17]
Pada periode ini, Spanyol Islam, meskipun masih terpecah dalam beberapa negara, masih memiliki satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan Dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M, ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Pada masa Dinasti Murabithun, Saragosa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M.
Dinasti Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumazi (W.1128). Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abdul Mun’im. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Nevas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya meninggalakan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. Pada tahun 1238 M, Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248 M. Seluruh Spanyol, kecuali Granada, lepas dari kekuasaan Islam.
6.      Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah Dinasti Ahmar (1232-1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti pada zaman Abdurrahman An-Nasir. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam perebutan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya kerena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Ia memberontak dan berusaha merampas kekuasannya. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdinand dan Isabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah Abu Abdullah naik takhta. Ferdinand dan Isabella mempersatukan kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup puas. Kedua-duanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol. Abu Abdullah tidak kuasa menahan serangan-serangan orang Kristen dan pada akhirnya mengaku salah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Ferdinand dan Isabella, kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian berakhirlah Islam di Spanyol pada tahun 1492 M. Umat islam setelah itu dihadapkan pada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah itu.[18]
            Di spanyol ada sekitar 90.000 Muslim pada 1971, di antara mereka sekitar 13.000 warga-negara Spanyol. Pada 1982 ada sekitar 120.000 orang Muslim. Kebanyakannya adalah pekerja asing terutama dari Afrika Utara. Inkuisisi Spanyol terhadap Islam di abad 17 yang telah menghancurkan komunitas Muslim sebenarnya berlangsung sampai tahun 1967. Pada tahun itu untuk pertama kali di Spanyol diberlakukan kemerdekaan beragama. Kemerdekaan beragama yang lengkap diberlakukan setelah meninggalnya Jendral Franco pada 1975. Namun abad-abad misinformasi oleh gereja Katolik Spanyol terhadap Islam mempunyai efek yang buruk pada penduduk dan ini memaksa banyak Muslim Spanyol merahasiakan keyakinan agamanya karena takut dianiaya. Walaupun demikian orang-orang Muslim diantaranya Mahasiswa di universitas-universitas dan pekerja-pekerja pabrik berhasil membentuk asosiasi-asosiasi Muslim dikebanyakan kota utama. Demikian pula sekitar 40 Masjid sementara di seluruh negeri. Sejak 1980 sejumlah orang Andalusia kembali ke Islam terutama di daerah Andalusia. Mereka membentuk organisasi-organisasi yang terpenting adalah, Comunidad Islamica en Al-Andalus dengan seksi-seksi Sevilla, Granada, Malaga, Jerez, dan Comunidad Islamica en Espana di Granada. Kedutaan Besar Negara-negara Muslim merencanakan membangun sebuah Masjid di Madrid diatas tanah yang diberikan oleh kota Madya. Uni Asosiasi-Asosiasi Mahasiswa Muslim, menarik kebanyakan mahasiswa asing, mempunyai kantor pusatnya di Madrid dan seksi-seksi di kota-kota besar Spanyol.[19]
  3.      Bulgaria
Pada tahun 1878 negara ustmani memberikan otonomi kepada dua kepangeranan Rumelia dan Rumelia Timur, pada tahun 1885 kepangeran itu disatukan membentuk satu negara kesatuan yang menyatakan merdeka pada tahun  1908 dengan nama kerajaan Bulgaria. Pada tahun 1946 ada pengambil alihan oleh partai komunis yang membubarkan monarki dan mengganti Bulgaria sebagai negara republik sosisalis.
Pada tahun 1950, sepertiga dari wilayah Bulgaria adalah Muslim. Sekitar 500.000 dari mereka adalah orang Pomak yaitu Muslim yang berbahasa Bulgaria. Pada tahun 1876, Muslim merupakan mayoritas di banyak kota utama seperti Varna, Plovdiv (filipe), Pleven dan sebagainya. Muslim juga minoritas yang penting di Kota Sofia.
            Pada tahun 1908 setelah kemerdekaan ada tingkat penganiayaan terhadap komunitas muslim sangat meningkat, hal ini menyebabkan terjadinya gelombang imigran baru menuju Turki. Penganiayaan terhadap komunitas muslim ini menyebabkan berkurangnya penduduk muslim dari sekitar 50% pada 1876 menjadi hanya 13% pada tahun 1939 dengan hanya 858.000 muslim di antara penduduk yang berjumlah 6.600.000 orang. Penganiayaan dan pengusiran terhadap komunitas muslim berlanjut pada tahun 1951 selama tahun pertama rezim komunis memimpin, hal itu membuat sekitar 160.000 oramg muslim Bulgaria di paksa menuju Turki.
            Bulgaria mempunyai wilayah seluas 110.912 kilometer persegi, berpenduduk 8.814.000 orang pada tahun 1982. Tahun yang sama penduduk muslim sekitar 1.700.000.  muslim Bulgaria penganut mazhab hanafi. Diperkirakan mereka terbagi kedalam tiga kelompok; orang Turki termasuk Tartar (sekitar 1.050.000 orang di tahun 1982); orang Promak atau muslim Bulgaria (370.000 orang di tahun 1982); dan Gypsy (diantaranya sekitar 280.000 orang adalah muslim pada tahun 1982). Jadi,di samping pengusiran terus-menerus, perbandingan penduduk muslim  dengan keseluruhan penduduk meningkat dari 13% pada 1939 menjadi sekitar 17% pada tahun 1971,dan 19,3 % pada tahun 1982.[20]
                              Secara geografis, wilayah muslim di bagi di dua daerah terpisah, di timur laut dekat perbatasan Rumania, dan di barat daya dekat perbatasan Yunani, Muslim mayoritas di Bulgaria ada di tujuh provinsi di timur laut (Silistra, Tulbuhin, Razgrad, Shumen dan Turgovi), mereka berbahasa Turki, dua provinsi lain ada di sebelah selatan (Smolyan dan Kurzali) adalah kubu Promak. Pada tahun 1966 ada 1.300 masjid, di antaranya 1.180 berbahasa Turki dan 120 berbahasa Bulgaria. Misalnya Masjid Banya Bashi yang dibangun pada tahun 1576 oleh arsitek terkenal Kerajaan Ottoman yaitu Sinan, merupakan satu-satunya masjid yang masih berfungsi setelah 500 tahun penguasaan Ottoman di Sofia, ibu kota Bulgaria. Dan Masjid Tumbul yang terletak di Shumen yang merupakan masjid terbesar yang di bangun tahun 1744. Pada tahun 1956 sekitar 2.715 imam melayani komunitas muslim. Orang-orang muslim Bulgaria secara agama di pimpin seorang mufti besar. Bulgaria dibagi menjadi 6 wilayah keagamaan yang mana wilayah tersebut mempunyai Majlis Ul-Ulema. yang berbahasa Turki yang berkedudukan di Burgaz dipimpin oleh Mufti Imam Hasan Adamof dan yang berbahasa Bulgaria berkedudukan di Smolyan dipimpin oleh Mufti Imam Husayn Seferkov.
Orang muslim Bulgaria mengalami penindasaan agama yang sangat memprihatinkan selama bertahun-tahun semasa pemerintahan rezim Todor Zhivkov, karena secara tradis gereja ortodoks masih menganggap mereka sebagai orang asing, meskipun sebenarnya mereka etnik Bulgaria. Hal ini menjadi perkara yang mewajarkan penindasan terhadap kepercayaan islam.
            Bulgaria telah ,menikmati kebebasan beragama setelah jatuhnya rezim Todor Zhivkov pada tahun 1989. Banyak masjid baru yang dibangun di beberapa wilayah, beberapa wilayah telah mengatur kursus pengajian Al-Qur’an untuk penduduk Muslim Bulgaria, karena pemgajian Al-Qur’an sangat ditentang dan dilarang  semasa pemerintahan rezim Zhivkov). Orang islam juga mulai menerbitkan surat kabar  sendiri yaitu Musulmani dalam kedua bahasa Bulgaria dan Turki.
           
  4.      Albania
Albania merupakan sebuah negara yang terletak di Eropa bagian tenggara. Albania berbatasan dengan Montenegro di sebelah utara, Serbia di sebelah timur laut, Makedonia di timur dan Yunani di selatan. Laut adriatik terletak di sebelah barat sedangkan laut lonia dibarat daya. Secara teoretis, Albania adalah negara Eropa dengan penduduk mayoritas muslim di bandingkan yang lain. Orang muslim Albania walaupun secara teoretis mayoritas muslim tetapi pada kenyataannya diperlakukan minoritas walaupun dalam jumlahnya mayoritas, faktor tersebut karena pemerintah Albania mengikuti paham ateisme yang paling fanatik,dan juga karena faktor kurangnya media pendukung muslim albania dalam menyampaikan atau menyalurkan  aspirasinya.
Pada tahun 1971, penduduk albania sekitar 2.220.000, di antaranya 1.500.000 adalah muslim. Jadi sekitar 71% dari seluruh penduduknya terdiri dari orang muslim. Angka alami pertumbuhan  pendududk Albania merupakan salah satu terbesar di dunia, hasilnya jumlah penduduk Albania pada tahun 1982 diestimasikan sebesar 2.810.000, di antaranya 2.110.000, atau 75% diestimasikan terdiri dari orang-orang muslim. Menurut rasnya, orang Albania adalah keturunan orang Illyria, penduduk kuno kawasan Balkan sebelum serbuan orang-orang Yunani dan Slavia. Orang-orang muslim Albania penganurt sunni, pengikut mazhab hanafi. Orde sufi bektashi mempunyai pengaruh besar di Albania.[21]
Pada tahun 1430 hingga lima abad kemudian, telah membuat islam tersebar di Albania. Pada tahu  1912 Albania menyatakan kemerdekaannya. Namun pada tahun 1945 dengan naiknya Enver Hoxha yang menganut paham komunis ke kursi keprisidenan, muslim Albania mengalami era yag represif dan mencekam. Enver Hoxha membatasi kebebasan beragama arang-orang albania dan bahkan sampai menghancurkan masjid-masjid di Albania.
Sesudah tahun 1946, paham komunis mulai berusaha melakukan penyusupan ke dalam sistem keagamaan islam, hanya pemimpin agama yang setia kepada penguasa sepenuhnya saja yang dipercaya diizinkam untuk bertahan. Segala bentuk dari penyusupan dan kebijakan penindakan kasar puncaknya pada tahun 1967, ketika segala aktifitas keagamaan (muslim dan kristen), dengan menutup semua masjid dan gereja di Albania, dengan memenjarakan imam dan menghancurkan segala literatur muslim. Dan puncaknya menyatakan Albania merupakan negara ateis pertama di dunia. Pada tahun 1976, pemerintah melangkah lebih jauh dan melarang penggunaan nama-nama muslim.
Setelah meninggalnya Enver Hoxha  pada tahun 1985 dan melemahnya rezim komunis, kondisi di Albania mengalami perubahan. Pada tahun 1990, aktivitas yayasan religius dan masjid-masjid kembali meraih kebebasan. Pada bulan maret tahun berikutnya, diadakan pemilu parlemen yang bebas unruk pertama kalinya. Presiden Sali Berisha adalah presiden pertama Albania pasca era komunis. Pada masa pemerintahannya ada usaha-usaha pembangunan kembali tempat-tempat ibadah dan perluasan hubungan dengan negara-negara muslim. Bahkan pada masa itulah Albania resmi menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Masjid selalu menjadi pusat dari kegiatan kaum muslimin karena masjid memberikan semangat dan makrifat kepada mereka. Begitu pula dengan Albania, masjid memiliki peranan penting dalam menumbuhkan semangat keislaman di hati kaum muslimin Albania. Di setiap lapangan utama paada setiap kota di Albania selalu terdapat sebuah masjid. Hal imi membuktikan bahwa masjid adalah tempat yang sangat penting bagi masyarakat Albania. Sebelum berkuasanya rezim komunis, jumlah masjid di Albania mencapai 600 masjid dan memiliki peran yang lebih aktif dari pada era sekarang ini. Selama pemerintahan rezim komunis, masjid-masjid di negara itu ditutup dan sebagiannya bahkan dihancurkan. Setelah runtuhnya rezim komunis, masjid-masjid itu kembali dibangun dan sekarang jumlah masjid yang aktif melakukan berbagai kegiatan keagamaan mencapai 350 masjid. Selain masjid, juga ada pusat-pusat kegiatan kaum muslimin yanag lainnya, misalnya husainiyah atau yayasan-yayasan keislaman.
Secara formal pengajaran agama islam dilakukan secara terpusat. Lembaga pengajaran tertentu memiliki tanggungjawab  dalam mengajarkan agama islam kepada pelajar. Lembaga-lembaga pengajaran ini merupakan pengganti dari sekolah-sekolah agama sebelumnya yang melakukan kegiatan secara terpisah-pisah dan tersebar di setiap masjid. Lembaga pengajaran agama terbesar terletak di Tirana, ibu kota Albania. Di sekolah agama ini diajarkan sedemikian rupa akan terhindar dari pertentangan antar mazhab. Lukisan dari lembaga pengajaran ini memiliki peran besar dalam membangkitkan semangat keislaman kaum muslimin pada era komunis dan akibatnya banyak pula diantara mereka yang dipenjarakan oleh rezim komunis.
Meskipun islam adalah agama mayoritas masyarakat Albania dan keislaman telah menjadi jati diri mayoritas rakyat Albania, namun perhatian yang ditunjukan pemerintah Albania berkurang dari tahun ke tahun terhadap perluasan pengajaran islam tidak memuaskan. Dalam UUD negara ini, islam tidak disebut dalam agama resmi negara. Bahkan saat ini tampak usaha-usaha untuk menjadikan negara muslim ini sebagai negara muslim sekuler. Hal ini antara lain meupakan akibat letak dari geografis di Eropa, yaitu di tengah negara-negara non islam dan juga akibat dari sisa-sisa peninggalan era komunis dulu.
  5.      Prancis
            Prancis mempunyai wilayah 57.026 kilometer persegi dan pada tahun 1971 berpenduduk 54.350.000 orang. Secara administrative, Prancis dibagi ke dalam dua puluh empat kawasan. Mayoritas penduduk Muslimnya berasal dari daerah koloninya. Pada 1990, Imperium Prancis termasuk di dalamnya banyak negeri Muslim, yang terpenting adalah Aljazair. Namun, sampai waktu itu, emigrasi Muslim ke Prancis masih tak berarti. Memang pada tahun 1990, hanya ada 1.000 orang Muslim di Prancis. Mereka menjadi 6.000 pada 1912.[22]
            Dari 2,5 juta Muslim di Prancis pada tahun 1982, sekitar 1.960.000 berasal dari Afrika Utara. Lainnya datang dari Afrika Hitam, Yugoslavia, Arab Timur, Turki, dan Iran. Ada sekitar 70.000 Muslim berasal dari etnik Prancis. Memang, kecenderungan pindah agama ke Islam telah mulai pada pergantian abad, dan banyak orang Prancis telah menjadi Islam untuk dua atau tiga generasi. Kebanyakan Muslim Prancis penganut Mazhab Maliki.
            Secara geografik, orang-orang Muslim ada di semua bagian Prancis, dengan konsentrasi lebih besar di daerah-daerah Paris (Region Parisienne), Marseilles (Provence Cote-d’Azur) dan Lyons (Rhones-Alpes). Kebanyakan Muslim Prancis menduduki jabatan yang kurang menarik dan merupakan “proletariat” kota-kota Prancis. Sedikit minoritas merupakan kelas profesional, terutama di daerah Paris. Pada prinsipnya dan dalam penampilan, hak-hak Muslim sebagai perorangan dihormati oleh hukum Prancis. Namun sabagai komunitas, Muslim Prancis menderita karena sikap anti Islam yang mengikuti kembali perspektif masa Perang Salib, dan dari kenangan rasisme periode kolonial. Pengaruh komunitas Muslim di Prancis praktis dapat diabaikan di semua bidang, terutama jika dibandingkan dengan komunitas Yahudi dan Protestan yang jauh lebih kecil.[23]
            Organisasi Gerakan Umat Islam Kaum Muslim Prancis mengambil keuntungan dari Undang-Undang 3 Oktober 1981, yang memberi  orang asing hak berkumpul. Pada tahun 1992 perhimpunan Muslim mencapai sekitar 1.300 buah di seluruh Prancis. Perhimpuanan ini dapat dikelompokan menjadi dua tipe: keagamaan dan kebudayaan. Kelompok pertama tema sentralnya adalah religius, umumnya mempunyai gedung sendiri, melakukan pengajaran agama, rasa solidaritas menjadi ciri utama mereka, dan memakai standar Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Kelompok kedua tidak menjadi agama sebagai tema sentralnya. Perkumpulan-perkumpulan sosial ini, yang kerap memiliki ruang lingkup nasional dan selalu berhubungan dengan budaya negeri leluhur, kurang memperhatikan ketaatan pada agama mereka. Banyak diplopori oleh kaum muda asli Prancis, seperti Prancis Plus, Generation Egalite, dan Generation Beur. Agenda utama kaum muda ini dibidang sosial politik, mereka menentang negara yang masih menganggap umat Islam sebagai warga negara kelas dua.
             Menghadapi begitu banyak kecendrungan dan organisasi, dilakukan usaha-usaha koordinasi dan federasi di tingkat nasional. Muncul tiga kelompok besar yaitu: Masjid Paris, FNMP (Federasi Nasional Muslim Prancis), dan UIOF (Uni Organisasi-Organisasi Islam Prancis). Visibilitas Islam dan perkembangbiakan organisasi menjadikan agama terpenting kedua di Prancis ini sebagai pusat pembicaraan mengenai imigrasi. Pemerintah Prancis khawatir dengan campur tangan asing dalam urusan Islam Prancis. Negara-negara tertentu misalnya campur tangan dalam rekruitment para imam. Aljajair di antaranya dalam hal mencari imam, secara ideologis dekat dengan Masjid Paris. Selain itu masalah-masalah tertentu yang terkait dengan struktur kehidupan sehari-hari Muslim tampaknya sulit dipecahkan. Beberapa contoh: pemilihan pejabat untuk menjamin penyembelihan hewan secara halal oleh satu organisasi tersebut di atas juga harus mendapat persetujuan pemerintah Prancis untuk bekerja di rumah jagal; koordinasi tentang awal dan akhir Ramadhan; pembentukan "jatah Muslim" di pekuburan yang menghadap kiblat; dan tidak memadainya jumlah tokoh Muslim yang memberikan bimbinan spiritual di rumah sakit, rumah tahanan, dan tentara. Ide sekolah Muslim swasta terus diperdebatkan. Negosiasi panjang mengenai pendirian Institut Muslim resmi, yang diharapkan mencetak pemimpin keagamaan di Prancis, tidak pernah terwujud.[24]
 Pada tahun 1992, UIOF meresmikan sekolah teologinya sendiri yang tidak didukung oleh semua asosiasi Muslim. Karena alasan inilah, FNMF dan Masjid Paris mendirikan institutnya sendiri-sendiri akhir tahun 1993. Jelas bahwa ada indikasi suatu komunitas Islam yang mapan dan mantap. Namun, Islam masih merupakan sebuah konsep yang belum dapat diaphami oleh banyak orang. Kesulitan dengan definisi ini dan kurangnya juru bicara resmi menyebabkan Menteri Dalam Negeri mendirikan Dewan Rafleksi Islam di Prancis (CORIF) pada 6 November 1989. Sebuah penasehat pemerintahan, akan tetapi tidak mewakili organsasi-organisasi Islam yang ada. Dewan ini bertugas memimpin studi masalah-masalah yang berhubungan dengan komunitas Muslim serta berusaha meorganisasi perwakilan Muslim di Prancis. Namun legitimasi CORIF kadang-kadang digugat karena tidak diterima dengan suara bulat oleh semua perhimpunan di Prancis. Secara umum, pemerintah cenderung ingin mengendalikan komunitas Muslim yang dinamis ini, namun belum tahu cara melakukannya. Pemerintah- pemerintah lokal berusaha menghentikan gelombang ekspansionis sebuah agama yang menurut mereka mencemaskan dengan menolak otorisasi kontruksi. Peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di masyarakat Prancis, seperti serangan teroris (versi mereka) di Paris pada tahun 1986, "kasus jilbab" – suatu perdebatan mengenai diizinkannya berbusana Islami di sekolah- sekolah umum – tahun 1989, dan buku yang dianggap provokatif Jean Claude Bareau, De l'Islam en general et de la laiciate en paarticulier tahun 1991, ditambah dengan masalah-masalah politik International, berakibat memperkeras opini publik menentang komunitas Muslim. [25]
Memasuki abad 21 umat Islam Prancis semakin mengukuhkan eksistensinya. Seperti apa yang diperjuangkan oleh muslim Creteil khususnya. Mereka terus memperjuangkan untuk membangun masjid sebagai pusat dan simbol keberadaan umat Islam. Berawal dari sebuah tempat bekas gudang pertukangan kayu, disulap menjadi sebuah masjid. Setiap Jumat, sekitar 200-an Muslim di Creteil, Prancis, memadati masjid itu. Meski sempit, umat Islam Creteil tetap bersemangat menjalankan shalat Jumat. Tak hanya laki- laki, kaum wanita juga tak mau ketinggalan. Creteil terletak di tenggara Paris. Di Prancis, Creteil merupakan kota dengan penduduk Muslim terbesar, bahkan mungkin untuk seluruh daratan Eropa. Dari sekitar 88 ribu penduduk kota kecil itu, 20 persen di antaranya adalah Muslim. Karena itu, tak mengherankan jika setiap datang waktu shalat wajib masjid itu selalu penuh sesak. Karim Benaissa, 44 tahun, berasal dari Aljazair sebagai ketua Asosiasi Uni Muslim Creteil, terpaksa memasang papan-papan kayu untuk menampung luberan jamaah. Dia salah satu yang memprakarsai pembangunan mesjid Creteil. Pemandangan seperti itu sudah berlangsung bertahun-tahun, dan mungkin akan terus seperti itu, hingga masjid yang kini tengah dibangun selesai pada Juni 2008. Kelak jika masjid di Creteil itu benar-benar berdiri, maka itulah masjid pertama terbesar yang pernah dibangun di Eropa (Barat) dalam 100 tahun terakhir. Sebuah masjid yang oleh Molly Moore, periset dari Corinne Gavard , disebut sebagai masjid "pengecualian" di tanah Eropa.   Pembangunan masjid ini dibantu dan didukung oleh pemerintah daerah Creteil, termasuk biayanya. Terletak di bukit kecil, di sebuah danau tak jauh dari balai kota dan pos polisi Creteil, masjid yang bisa menampung 2.500 jamaah dan memiliki 81 menara ini menelan biaya US$ 7,4 juta (sekitar Rp 70-an miliar). Menurut Walikota Creteil, Laurent Cathala, pihaknya tidak ingin menyembunyikan pembiayaan, dan pembangunan masjid di Creteil karena itulah cara memperkecil gerakan bawah tanah Islam di Prancis. Di tengah-tengah sikap paranoid masyarakat Eropa terhadap Islam, terobosan Laurent Cathala merupakan langkah berani. Hal ini mengingat, seperti dicatat Molly Moore, pemerintah Prancis sudah banyak mengembalikan para imam masjid ke negara-negara asalnya. Para anggota parlemen di Creteil yang anti imigran bahkan sangat gencar memprotes penggunaan dana-dana negara untuk pembangunan masjid itu. 22 Paranoid dan diskriminasi terhadap Islam tidak hanya di Creteil Prancis, tapi juga melanda hampir seluruh Eropa. Setengah abad terakhir, benua itu memang sedang mengalami perubahan demografi yang dramatis sehingga menakutkan sebagian warganya. Hal ini akibat makin pesatnya perkembangan Islam disana. Pembangunan masjid di Creteil adalah kisah tentang perjuangan kaum Muslim, dan upaya menegakkan keadilan dari seorang pejabat pemerintah bernama Cathala. Ide pembangunannya sendiri sebenarnya merupakan gagasan 15 tahun lalu, dan tertunda menyusul pertikaian dalam organisasi Islam setempat. Orang-orang Islam dari Maroko, Aljazair, dan Tunisia akhirnya sepakat untuk menggunakan bekas tempat pertukangan kayu sebagai tempat ibadah, meskipun ukurannya tidak cukup untuk menampung 200 orang. [26]
Menurut Benaissa, pemicu perselisihan adalah cara berpikir yang berbeda. Kaum tua tetap menginginkan keterikatakan dengan negeri asal. Sedang generasi muda yang lahir di Prancis ingin sesuatu yang berbeda. Cathala kemudian muncul dengan menawarkan pembiayaan pembangunan dan pencarian lokasi untuk mendirikan masjid dalam suatu komplek yang didalamnya ada rumah makan, toko buku, perpustakaan, aula tempat pameran dan ruang kelas untuk sekolah. Cathala mengajukan sejumlah syarat. Muslim Creteil harus menunjuk satu juru bicara, arsitektur masjid harus tidak merusak pemandangan sekitar danau, pembiayaan harus transparan, dan komplek masjid terbuka bagi semua penduduk, baik Muslim atau non Muslim. Islam adalah agama terbesar kedua setelah Nasrani di Eropa. Dari total penduduk sekitar 65 juta jiwa, 5 juta atau 8 persen di antaranya Muslim. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan kedua, lahir dan besar di Eropa. Menurut Moore, pembangunan tempat ibadah seperti masjid sangat sulit terwujud di Eropa. Dari London, Inggris hingga Cologne, dan Marseille, Prancis, penduduk dan pemerintah negara-negara Eropa terus disibukkan dengan penolakan pembangunan masjid. Mereka menentang pembangunan masjid karena dianggap bisa memengaruhi keamanan nasional, dan kepribadian mereka. Informasi terkini dari Kementerian Dalam Negeri Prancis mencatat ada sekitar 1.500 tempat ibadah kaum Muslim di Prancis. Hanya 400 yang berupa masjid. Selebihnya berupa gedung olahraga, apartemen, atau toko yang sudah tak berfungsi. Yang digunakan sebagai tempat beribadah umat Islam. Pembangunan masjid Creteil bukan tanpa hambatan. Pihak bank tiba-tiba secara sepihak menutup rekening yang digunakan Asosiasi Islam Creteil. Alasannya, banyak masjid di Prancis yang dibiayai donatur tanpa nama dari luar negeri. Ini salah satu contoh sikap diskriminatif terhadap umat Islam.  Kini, Masjid Creteil tengah dalam pembangunan. Keberanian Cathala hampir membuahkan hasil. Kubah- kubah masjid dan jendela yang memesona sudah mulai tampak. Kaum Muslim Creteil telah membangun sebuah masjid unik lebih dari sekadar meniru arsitektur Masjid Sofa Turki, dan masjid-masjid di Timur Tengah. 23 Masjid juga sebagai simbol dan pengakuan keberadaan umat Islam di sana. 
  6.      Jerman Barat
            Jejak modern pertama kehadiran Muslim di Jerman berasal dari abad 18 ketika Prusia dan Negara Usmani memutuskan untuk saling tukar-menukar kedutaan. Selama periode yang sama sebuah masjid dibangun di Schwatzingen (dekat Stuttgard) oleh seorang bangsawan Jerman yang masuk Islam. Inilah masjid pertama di Jerman. Sepanjang abad 19 banyak orang Jerman memeluk Islam. Namun jumlahnya masih terbatas.[27]
            Secara geografis, Muslim ada di semua negara bagian Jerman, dengan berorientasi lebih tinggi di Bayern ( sekitar 250.000 Muslim) dan Rhenania-Westphalia ( sekitar 400.000 Muslim). Ada 600.000 anak dalam komunitas tu dan 40.000 mahasiswa ( dari negara asing) di universitas-universitas dan sekolah-sekolah profesional. Selain mahasiswa dan beberapa ribu profesional, kebanyakan Muslim di Jerman Barat adalah pekerja kasar yang menduduki jabatan-jabatan yang kurang diinginkan. Secara politis, pengaruh komunitasMuslim itu tidak berarti, bahkan diantara mereka yang merupakan warga negara Jerman.
            Pada tahun 1987 di Hamburg dibangun sebuah lembaga keislaman bernama Islamic Center Hamburg yang diprakarsai oleh orang-orang Islam Iran (Syiah). Namun dalam penggunaannya dilakukan oleh semua umat Islam baik Syiah atau Sunni. Diantara kegiatan rutinnya adalah pengajian berbagai kelompok dengan hari dan jadwal berlainan, pengajian Al-Quran, diskusi, seminar dan lain-lain. Penerbitan majalah Islam dalam bahasa Jerman yaitu “ Al-Fadschr ”. Selain itu banyak masjid-masjid sebagai pusat kegiatan dan gerakan umat Islam yang diurus oleh masing-masing kelompok, seperti masjid Turki, Indonesia, dan lain-lain. Di daerah-daerah lain melakukan hal yang sama seperti Islamic Center Munchen , kota ini dikenal sebagai kota ilmu pengetahuan. Pada tahun 1981 mendirikan skolah-sekolah untuk anak-anak Muslim di Munchen, penerbitan majalah Islam berbahasa Jerman, penerbitan buku-buku keislaman, dan lain-lain. Begitu juga Islamic Center Aachen upaya yang diprakarsai oleh para mahasiswa muslim mereka mendirikan pusat-pusat kegiatan dakwah Islam di jerman bahkan pusat untuk Eropa.
            Secara hukum, komunitas Muslim Jerman Barat terhalang oleh kenyataan bahwa kebanyakan anggotanya adalah orang asing. Walaupun hak-hak Muslim secara perorangan makin dihormati, tetapi komunitas Muslim secara keseluruhan tidak diakui oleh Republik Federal sebagai sutu komunitas keagamaan dengan akibat bahwa Muslim sebagai komunitas tidak memilik hak. Lebih dari tiga puluh tahun, komunitas telah meminta pengakuan (kopershacft), tetapi tidak membawa hasil. Orang-orang Jerman yang masuk Islam mendapat perlakuan diskriminatif secara tidak langsung dan banyak yang merasa terpaksa memelihara keyakinannya secara rahasia.[28]
            Jadi, seperti di Prancis, masalah dasar bagi komunitas Muslim di Jerman Barat adalah masalah organisasi. Namun hal ini merupakan proses transisi yang normal, dan rupa-rupanya komunitas itu sedang menuju ke arah organisasi nasional. Mungkin baru kemudian nanti otoritas Jerman akan mendapat tekanan untuk mengakui hak-hak komunitas Muslim sehingga besikap atas dasar yang sama dengan komunitas keagamaan lain di negeri itu. Jika tidak demikian, masa depan Islam di Jerman Barat akan tetap tidak dapat diramalkan.
7.      Italia
Menurut statistik resmi Italia terakhir, pada 1 Januari 2015 Muslim mencapai sekitar 34% dari 2.400.000 penduduk asing yang tinggal di Italia. Sebanyak 820.000 penduduk asing tersebut merupakan sejumlah Muslim yang secara resmi bertempat tinggal di Italia.[29]
Di samping imigran legal menunjukkan minoritas keberadaan Muslim di Italia, isu Islam di Italia saat ini berhubungan dengan beberapa partai politik (khususnya 'Luga Utara' atau 'Lega Lombarda') dengan imigrasi, dan imigrasi ilegal yang lebih spesifik. Imigrasi telah menjadi isu politik yang terbuka, ketika, khususnya di musim panas, laporan muatan kapal imigran ilegal atau program berita dominasi clandestini.
Kepolisian tidak memiliki keberhasilan besar dalam meninterupsi banyaknya ribuan clandestini yang menepi di pantai Italia, terutama karena panjangnya garis pantai Italia semata: total sekitar 8.000 km . Namun, banyak clandestini yang berlabuh di Italia hanya menggunakan Italia sebagai jembatan menuju negara UE lain, karena fakta bahwa Italia tidak memiliki banyaknya peluang ekonomi untuk mereka seperti Jerman atau Perancis, dan kurang lebih iklim yang tidak bersahabat untuk keberadaan mereka, juga dengan ketaatan beragama umat Katolik Italia.
Jumlah Muslim asing yang telah berkedudukan warganegara Italia diperkirakan antara 30.000 hingga 50.000, jika Muslim Italia (dari marga Italia yang sebelumnya termasuk penganut Katolik atau tidak memiliki agama lalu masuk Islam) diperkirakan kurang dari 10.000.
Karena itu, pada tahun 2005 jumlah Muslim yang tinggal di Italia diperkirakan menjadi antara 960.000 hingga 1.030.000, dengan perkiraan rata-rata mendekati angka jutaan di mana media Italia sudah mulai mengadopsi yang merujuk pada populasi Muslim di Italia.
Keberadaan Muslim saat ini 1.4% dari populasi Italia, persentase rendah dari negara UE besar lain, dan masih turun dari yang tercatat di Italia antara pertengahan abad ke-9 dan akhir abad ke-13, sebelum perpindahan qpasukan Muslim terakhir di Puglia tahun 1300.
Saat zaman Pertengahan, populasi Muslim bertotal hampir berpusat di Insular (Sisilia, Sardinia) dan (Calabria, Puglia) Italia Selatan, saat ini lebih rata penyebarannya, yang hampir 55% Muslim mendiami Utara Italy, 25% di Pusat, dan hanya 20% di Selatan.
8.      Yugoslavia
Asal-usul kebangsaan Muslim Yugoslavia yang paling banyak adalah dari Bosnia yaitu sebanyak 2.340.000 di tahun 1981 yang bersama-sama dengan asal ras dan bahasa Serbo-Kroasia. Mereka sangat berpengalaman dan terintergrasi dengan baik dalam kehidupan politik negeri itu. Yang kedua dalam jumlah adalah Albania yaitu sebanyak 1.730.000 pada tahun 1981 yang terutama tinggal di Negara Bagian Kossovo, tetapi juga di daerah-daerah tetangga. Orang Turki hanya sekitar 120.000 pada 1981, terpusat di Macedonia dimana mereka mempunyai 65 sekolah dasar. Muslim Gypsy (100.000 pada 1981) adalah diantara  orang Muslim yang paling miskin dan kebanyakan hidup secara nomadik dalam federasi. Ada juga beberapa ribu orang Muslim yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Kroasia, Serbia, Macedonia, Circassia, dan sebagainya. Namun, semua kelompok Muslim yang lebih kecil cenderung diserap oleh kedua kelompok yang lebih besar yaitu Bosnia dan Albania.
Jadi, situasi Muslim di Yugoslavia semakin bertambah baik. Mereka memiliki ciri-ciri dapat hidup terus dan sebagai komunitas yang terintregasi dengan baik serta mempunyai tingkat kebebasan beribadah yang layak. Hubungan mereka dengan dunia Muslim semakin meningkat, banyak mengirimkan delegasinya ke negara-negara Muslim, banyak melakukan pertukaran pelajar, dan sekitar 2.000 jamaah haji pergi ke Mekkah setiap tahun. Pemerintah Yugoslavia telah membangun modal rasa hormat dalam negara-negara Muslim karena mereka memperlakukan masyarakat Muslim di negaranya sendiri dengan adil.
9.      Belanda
Di Belanda, sekitar satu persen dari penduduknya adalah Muslim yaitu sekitar 132.000 pada tahun 1971. Pada tahun 1982 angka ini naik menjadi sekitar 400.000 (2,8% dari jumlah penduduk). Imigran Muslim pertama kali masuk ke Belanda pada tahun 1950, mereka merupakan para pendatang yang berasal dari Indonesia dan Suriname yang berjumlah hanya 5000 orang[30]. Pada tahun 1982, diantara Muslim di Belanda ada sekitar 200.000 orang Turki, 100.000 orang Afrika Utara, 40.000 orang Melayu (Indonesia dan Malaysia) dan 40.000 Muslim dari berbagai negara termasuk sekitar 2.000 orang Belanda yang masuk Islam. Di Amsterdam tinggal sekitar 60.000 Muslim. organisasi Muslim pertama yang brusaha menghimpun semua Muslim yang bberasal dari bangsa yang sama didirikan  pada 1960-an. Pada tahun 1974, organisasi–organisasi ini disatukam membentuk Persatuan Organisasi-Organisasi Islam (Islamic Organization Union) Belanda. Ada sekitar 300 masjid sementara di negara itu. Kedutaan  negara-negara Muslim merencenakan suatu Pusat Islam di Amsterdam. Pemerintah mengakui perkawinan Islam, tetapi Islam tidak diakui atas dasar yang sama dengan badan keagamaan lain. Tidak ada sekolah Islam, tetapi pendidikan Islam sebagiannya diberikan kepada anak-anak Muslim di sekolah-sekolah negeri oleh guru-guru yang dikirim oleh Turki dan Maroko.
Kesimpulan
Di antara komunitas Muslim yang relatif besar, komunitas Muslim Eropa Timur (Yugoslavia, Bulgaria, Albania) merupakan penduduk pribumi dan secara keagamaan mereka terorganisasi dengan baik serta berurat akar di negerinya. Di tiga negara ini, hanya Muslim di Yugoslavia yang tampaknya dalam keadaan agak bagus dan situasi yang membaik. Di negara-negara lain, situasi itu jauh lebih jelek daripada keadaannya sebelum Perang Dunia II. Di Bulgaria, komunitas Muslim secara serius terancam. Namun di Albania, kenyataan bahwa orang-orang Muslim membentuk penduduk yang besar sekali dan bahwa Islam terintergrasi secara penuh dengan kebangsaan Albania menimbulkan harapan bahwa dalam perjalanan waktu keadaan yang penuh bahaya akan berakhir dan akan diingat sebagai mimpi buruk yang tidak mengakibatkan kerusakan apapun[31].
Komunitas Muslim Eropa Barat (Prancis, Jerman Barat, Inggris) adalah penduduk Muslim yang merupakan hasil dari zaman kolonial. Mereka masih dalam proses mengorganisasi diri. Secara organisasi, Inggris merupakan negara yang paling maju, sedangkan Prancis adalah negara paling kurang kemajuannya. Mereka juga masih berjuang demi akseptabilitas di negaranya masing-masing.
Biaya pembangunan lembaga-lembaga Muslim berasal dari iuran perorangan. Awqaf  lama di Eropa Timur semuanya telah disita oleh para penguasa[32]. Kebutuhan komunitas dan aktivitas misionaris Kristen Eropa tidak sebanding dengan dukungan dari negara-negara Muslim yang dirasakan masih sangat terbatas. Seringnya, dukungan itu justru diarahkan pada pusat-pusat Islam yang tidak diurus oleh komunitasnya serta sangat terbatas pengaruhnya bagi masa depan komunitas itu.
Terkecuali Yugoslavia dan Prancis, pengetahuan bahasa Arab tidak tersebar. Namun bacaan Islam telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Serbo-Kroasia, Inggris, Albania, Prancis dan Jerman menurut urutan kepentingan. Tak ada bacaan Islam berkembang dengan baik dalam bahasa Bulgaria[33].
Kesimpulannya, sikap modern Eropa terhadap Islam keseluruhannya sangat lebih baik daripada di masa lalu walaupun masih berbeda dalam demokrasi Barat dengan prinsip yang mereka tegaskan tentang kebebasan berkeyakinan. Memang, Muslim di negara-negara ini masih dihadang oleh prasangka non-Muslim yang sebenarnya. Penolakan terus-menerus, penyiksaan, tanpa pengakuan tersebar luas, dengan pengecualian yang jarang seperti tersebut di atas, dan tidak tergantung pada sistem politik yang berlaku. Misalnya, Islam praktik bebas di Yugoslavia, tetapi dianiaya di Bulgaria, di blok negara komunis. Di negara Barat, Islam tidak diakui di Prancis, Jerman Barat, dan Inggris. Namun, dengan adanya alat-alat komunikasi modern, tak ada komunitas yang sepenuhnya dapat diputus hubungannya dengan Ummah Muslim lainnya. Dengn alasan ini saja, rupanya Islam telah menanamkan akar-akarnya dengan cukup di Eropa guna menimbulkan harapan bahwa Islam telah datang, tinggal dan tumbuh subur di samping kesulitan-kesulitan dan rintangan-rintangan yang harus dihadapi.ini sungguh akan menjadi keuntungan bagi keduanya, Eropa dan Dunia Islam[34]





DAFTAR PUSTAKA
Aliyudin. “Sketsa Dakwah Islam di Eropa Barat”, Jurnal Ilmu Dakwah vol.4 No.11 Januari-Juni 2008 (Bandung: 2008)
Kartini, Indriana.” Minoritas Muslim di Australia dan Inggris”.  vol.3 no.1 2006.
M.Ali Kettani. Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini”. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
Sulasman,  Sejarah Islam di Asia dan Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern”. Pustaka setia: Bandung., 2013
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam”. Raja Grafindo Persada: Jakarta. 1993





[1] M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.2
[2] Ibid, hlm.3
[3] Ibid, hlm.31
[4]  Indriana Kartini. Minoritas Muslim di Australia dan Inggris., vol.3 no.1 2006. Hlm. 93
[5] M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini., RajaGrafindo Persada: Jakarta. 2005., hlm. 59
[6] Ibid., hlm. 59
[7]  M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini., RajaGrafindo Persada: Jakarta. 2005., hlm. 59-60
[8] Aliyudin, Sketsa Dakwah Islam di Eropa Barat. Jurnal Ilmu Dakwah Vol.4 No. 11 Januari-Juni 2008.hlm. 7
[9]  Indriana Kartini. Minoritas Muslim di Australia dan Inggris., vol.3 no.1 2006. Hlm. 93
[10] Ibid. hlm. 94
[11]  M. Ali Kettani., Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini., RajaGrafindo Persada: Jakarta. 2005., hlm. 61
[12] Sulasman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern., Pustaka setia: Bandung., 2013.,
[13]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam., Raja Grafindo Persada: Jakarta., 1993
[14] Ibid., hlm. 94-96
[15] Sulasman, H., Sejarah Islam di Asia dan Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern., Pustaka setia: Bandung., 2013., hlm. 249-250
[16] Sulasman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern, Pustaka setia: Bandung, 2013, hlm. 250
[17] Ibid, hlm. 250-251
[18] Sulasman,  Sejarah Islam di Asia dan Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern, Pustaka setia: Bandung, 2013.  hlm. 251-252
[19] M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini, RajaGrafindo Persada: Jakarta. 2005., hlm. 66-67
[20] M Ali Kettani, Minoritas Muslim Di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2005), hlm. 45.
[21] M Ali Kettani, Minoritas Muslim Di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2005), hlm. 37.
[22] M.Ali Kettani, MInoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 51.
[23] Ibid., hlm. 52
[24] Aliyudin, “Sketsa Dakwah Islam di Eropa Barat”, Jurnal Ilmu Dakwah vol.4 No.11 Januari-Juni 2008 (Bandung: 2008), hlm.13
[25] Ibid, hlm.14
[26] Ibid, hlm 16
[27] M.Ali Kettani, op.cit. hlm 55
[28]  M.Ali, Kettani op.cit. hlm 58
[29]  https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Italia diakses pada tanggal 9 Maret 2017

[30] Ibid, hlm.72
[31] Ibid, hlm.72
[32] Ibid, hlm.73
[33] Ibid, hlm.73
[34] Ibid, hlm. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar