Disusun
Oleh Kelompok XX :
Nurwahidah (15420071)
Aidah (144200)
Nining (144200)
PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Kawasan Asia
Selatan, merupakan wilayah yang memiliki kesatuan geografis tetapi dalam
sejarahnya penuh dengan pertentangan
. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa masyarakat di wilayah tersebut terdiri dari berbagai golongan dan ras yang memiliki keturunan, bahasa, kebudayaan, dan kepercayaan yang berbeda. Dengan kata lain tidak pernah terjadi kesatuan politik. Wilayah ini mudah ditundukkan oleh kekuatan lain, termasuk Islam.[1]
. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa masyarakat di wilayah tersebut terdiri dari berbagai golongan dan ras yang memiliki keturunan, bahasa, kebudayaan, dan kepercayaan yang berbeda. Dengan kata lain tidak pernah terjadi kesatuan politik. Wilayah ini mudah ditundukkan oleh kekuatan lain, termasuk Islam.[1]
Islam bukan
merupakan kekuatan luar pertama yang masuk dan menduduki kawasan ini.
Sebelumnnya bangsa Arya pada abad ke-VI SM sudah menaklukkan India. Islam baru
masuk secara resmi pada tahun 711 M yang
kemudian disusul Inggris pada tahun 1757 M. Meskipun datang kemudian, Islam
mampu memberi warna pada kebudayaan setempat. Peradaban Islam mampu mengakar
dan memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan masyarakat. Hal ini karena
Islam sebagai kekuatan Islam dan politik pernah memerintah negeri ini selama
kurang lebih tiga abad melalui Dinasti Mughal (1952-1857).[2]
Namun, setelah
kerajaan Mughal runtuh pada tahun 1857, ketika Inggris telah berhasil menguasai
seluruh kawasan anak benua India, pada saat itulah keadaan masyarakat Islam di India terpecah
menjadi tiga kelompok yang berbeda strategi dalam merespon imperialisme barat.
Pertama, kelompok yang non-kooperatif yang di pelopori oleh ulama tradisional
Deoband. Kedua, bekerjasama dengan Inggris, diwakili oleh Sayyid Ahmad Khan,
dan ketiga menjaga jarak dengan Inggris, yang dimotori oleh gerakan Aligarh
yang merupakan pengikut Ahmad Khan.
Kelompok
penentang melakukan perlawanan melalui gerakan Anti Inggris. Puncaknya adalah
meletusnya Revolusi Multiny pada tahun 1857.[3] Dampak dari revolusi ini malah merugikan umat
Islam sendiri, kondisi umat Islam menjadi lemah karena dari segi kuantitas
tergolong minoritas. Namun tokoh-tokoh Islam di India tidak berhenti sampai
disitu,dan terus berjuang untuk melawan imperialisme barat dan pada akhirnya
India dapat mencapai kemerdekaan. Dan
yang lebih penting lagi bagi Umat Islam di India ialah dalam Liga Muslim India
yang dilaksanakan ketika sidang tahunan 1940 tercapai kesepakatan yang dikenal
dengan Revolusi Lahore atau Revolusi Pakistan.
Dari situ,
disini penulis akan menguraikan tentang India pasca Imperialisme barat, tentang
bagaimana kemerdekaan dapat diraih dan bagaimana proses terbentuknya negara
Pakistan yang pada awalnya dilatarbelakangi oleh kesepakatan yang dikenal
dengan Revolusi Lahore atau Revolusi Pakistan yang kami sebutkan
sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. India dan
Imperialisme Barat
Inggris masuk
ke India sejak tahun 1600 M. Tujuan awalnya adalah berdagang melalui British
East India Company atau lebih dikenal dengan EIC. EIC merupakan
sebutan perusahaan yang bergerak di
bidang perdagangan. Untuk menunjang usahanya, beberapa pabrik didirikan, antara
lain di Surath (1612), Madras (1640), Bombay (1647) dan Calcutta (1690).
Pabrik-pabrik tersebut memproduksi kain sutera, sutra kasar, kain tenun dan
lain-lain. Usaha lainnya adalah mengekspor nila dan rempah-rempah serta
mengimpor emas, perak, dan hasil logam lainnya.[4]
Pada abad ke-18
terjadi pertempuran panjang antara Inggris dan Perancis karena berebut daerah
jajahan di Asia. Hasilnya Inggris mengalahkan Perancis. Kemenangan inilah yang
kemudian membelokkan tujuan Inggris di India yang semula berdagangang berubah
ingin menguasai. Saat itu kekuatan Mughal mulai melemah sehingga Inggris dengan
mudah menundukkan satu persatu wilayah Mughal.[5]
Daerah pertama
yang dikuasai adalah Bengal yang berhasil direbut melalui pertempuran Plassey
(1757). Di kota inilah didirikan pemerintahan otonom Inggris yang disusul
kemudian wilayah Aud dan Orissa. Tahun 1772. Warrenm Hastings, Gubernur
Jenderal Iggris di Bengal menyatukan pabrik-pabrik nya dan menciptakan kekuatan
politik. Inilah awal dari imperialime Inggris di India.[6]
Kelemahan
Mughal menjadi sebab makin leluasanya Inggris memperluas wilayah jajahan. pada
masa pemerintahan Akbar II terjadi konsesi anatara Mughal dan EIC. Inggris
bebas mengembangkan usahnya dan sebagai imbalannya Inggris memberi jaminan
kehidupan raja dan keluarga istana. Sejak itu kerajaan raja tak ubahnya seorang
pensiunan Inggris yang tidak punya kekuasaan sedikitpun.[7]
Puncak
kekuasaan Inggris diraih pada tahun 1857 ketika kerajaan Mughal benar-benar
jatuh dann rajanya yang terakhir, Bahadur Syah diusir ke Rangun (1858).[8]
Inggris juga berusaha menguasai Afghanistan (1879) dan kesultanan Muslim
Balucistan juga ditaklukkan (1899). Denga demikian imperialisme Inggris telah
merata di seluruh anak benua India.[9]
Ada empat
peristiwa penting yang mewarnai perkembangan imperium Inggris di anak benua
India. Tahun 1757, Robert Clive mengawali tumbuh dan berkembangnya wilayah
Inggris di Benggala. Kerjasama antara Mir Jafar dengan Robert Clive
memungkinkan untuk meletakkan landasan bagi Inggris di kelak kemudian hari.
Clive memperoleh tempat untuk membangun Calcutta yang dipakai sebagai pusat
untuk mengendalikan EIC (East India Company).[10]
Perluasan
wilayah yang dilancarkan oleh pihak Inggris berlangsung terus sampai tahun
1857, yaitu ketika terjadi pemberontakan Sepoy yang lebih dikenal dengan Indian Mutiny, Akibat dari pemberontakan itu
bagi Benggala penting artinya karena Calcutta ditinggalkan sebagai pusat
pemerintahan EIC digantikan oleh New Delhi. Itu berarti Benggala bukan lagi
sebagai pusat pemerintahan Inggris di Anak Benua India. EIC sebagai bahan
dagang dihapuskan dan digantikan oleh pemerintah kolonial Inggris. Dari
kelangsungan imperium Inggris itu berarti Pax Britanica sudah menjadi
kenyataan di anak Benua India. Tidak satupun penguasa dari kawasan itu mampu
menandingi Inggris.[11]
Dalam mengelola
imperiumnya, pemerintah kolonial Inggris membedakan antara India States (kerajaan-kerajaan
India) dan British India (daerah gubernemen). Pada tahun 1937, lewat
pemilihan umum berdasarkan India Acr-1935, kaum Muslimin India menderita
kekalahan telak, justru di daerah mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu
di Benggala dan Sind. Berdasarkan kenyataan pahit ini Liga Muslimin lalu
konsolidasi diri. Ibarat kapal, Liga memperoleh angin buritan yaitu dengan terjadinya PD II. Liga
mengambil sikap mendukung Inggris, sedang kongres menolak kerjasama dengan
Inggris dalam usaha perang. Sementara itu para pemimpin kongres dipenjara,
sehingga Liga dengan leluasa bebenah diri.[12]
Tahun 1947 tanggal 14 dan 15 Agustus 1947, Inggris
menyerahkan kedaulatan kepada bangsa Pakistan dan India. Menjelang penyerahan
kedaulatan terjadi suatu perubahan strategi antara Liga dan Kongres. Para pemimpin
Liga yang sebelum peperangan berakhir mengambil sikap mendukung atau
bekerjasama dengan Inggris kemudian berbalik menjadi menolak untuk bekerjasama.
Sedang kongres yang sebelumnya menolak berubah menjadi mau bekerjasama dengan
pihak Inggris. Tahun itu menandai gulung tikarnya pemerintahan kolonial Inggris
yang telah dibangunnya sejak hampir dua abad lalu dengan puncaknya pada
pertengahan abad XIX.[13]
B. Usaha-usaha
Melepaskan diri dari Imperialisme
Sejak tahun
1818 M Inggris menjadi kekuatan terkemuka di sebagian besar wilayah India,
terutama daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti
Bengal, dataran sungai Gangga dan wilayah sekitar lembah sungai Indus. Kehadiran
Inggris mendapat reaksi yang beragam dari Umat Islam. Ada tiga kelompok yang
berbeda strategi dalam merespon imperialisme Inggris. Pertama, kelompok yang
non-kooperatif yang dipelopori oleh
ulama tradisional Deoband. Kedua, bekerjasama dengan Inggris, diwakili oleh
Sayyid Ahnad Khan, dan ketiga, menjaga jarak dengan Inggris, yang dimotori oleh
gerakan Aligarh yang merupakan pengikut Ahmad Khan.[14]
Kelompok
penentang mengadakan perlawanan melalui gerakan anti Inggris. Puncaknya adalah
meletusnya revolusi multiny pada tahun 1857. Banyak perwira dan pejabat
Inggris yang dibunuh. Namun, gerakan ini dapat dipadamkan karena tidak didukung
kekuatan yang memadai. Revolusi ini dipicu oleh sikap Inggris yang tidak
bersahabat dengan rakyat India. Orang-orang India, baik yang Hindu maupun Islam
tidak diikut sertakan di parlemen.di samping itu Inggris juga mengintervensi
dalam soal-soal keagamaan.[15]
Dampak dari
revolusi ini justru merugikan umat Islam yang dianggap sebagai pemicunya.
Pemerintah Inggris mulai merangkul orang Hindu dan mengucilkan umat Islam.
Keadaan ini menjadikan posisi umat Islam lemah karena dari segi kuantitas
tergolong minoritas. Menyadari hal tersebut, tampillah Sayid Ahmad Khan dengan
strategi barunya. Menurutnya loyalitas terhadap pemerintah Inggris merupakan
suatu keharusan untuk mensejahterakan umat Islam.[16]
Karena permusuhan tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya akan mempersulit
untuk bisa masuk ke pemerintahan.
Usaha Khan yang
lain adalah membentuk lembaga pendidikan untuk mencerdaskan umat Islam. Tahun
1859 dia mendirikan the translation Society di Moradabad, ia
menerjemahkan buku-buku seni dan sains.[17]
Untuk meningkatkan moral dan aktifitas dibentuk majalah Tahzib al-Akhlak
(1857), yang kemudian berubah menjadi Universitas Aligarh (1920) dengan
menggunakan kurikulum barat.[18]
Di bidang
politik, kaum muslimin juga ikut ambil bagian. Pada waktu itu di India terdapat
dua organisasi politik besar, yaitu partai Kongres Nasional pimpinan Jawaharlal
Nehru dimana anggotanya terdiri dari orang Hindu dan Islam, dan Liga Muslim
India, yang khusus didirikan oleh dan untuk umat Islam. Kedua partai ini tidak
pernah dapat mempersatukan visi mereka di bawah bendera nasionalisme India. Hal
ini disebabkan masing-masing partai memiliki prioritas kepentingan yang
berbeda. Meskipun berbagai usaha di tempuh, namun tidak pernah berujung pada
kesepakatan.[19]
Masalah-masalah
kursial yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah penetuan sistem pemilihan
umum, penetapan propinsi dalam
konsideran dan pemerintahan serta visi tentang negara. Kedua organisasi
tersebut membentuk komite untuk mewujudkan rencana bersama yang dikenal dengan Pacta
Lucknow.[20]
Namun usaha ini tidak mengalami kemajuan sehingga diadakan Konperensi Meja
Bundar pada tahun 1930. Hasil dari konperensi ini juga tidak mampu memberikan
solusi permasalahan.[21]
Dipihak Liga
Muslim India tercapai kesepakatan yang dihasilkan melalui sidang tahunan pada
tahun 1940. Kesepakatan tersebut dikenal dengan Revolusi Lahore atau Revolusi
Pakistan. Isinya adalah : wilayah-wilayah yang umat Islam berada dalam mayoritas
seperti zona barat laut dan timur India harus dikelompokan sebagai negara
merdeka.[22]
Wilayah-wilayah inilah yang sekarang menjadi negara Pakistan.
Pada tahun 1942
pemerintah Inggris melalui Stafford Cripps menawarkan kemerdekaan kepada India
setelah perang Dunia II. Inggris juga menyetujui hak menetukan diri sendiri
pada pemerintahan propinsi untuk memilih tetap sebagai bagian dari India atau
berdiri sendiri sehingga propinsi yang umat Islamnya mayoritas dapat membentuk
federasi tesendiri.[23]
C. Latar Belakang
Drama Pemilahan India-Pakistan
Pemindahan
kekuasaan dari tangan Inggris ke India dan Pakistan berawal dari pencaplokan
punjab oleh muhmad gazni ( 1018), lebih serius oleh Muhammad Ghuri (1992) dan
dilanjutkan dengan penaklukan lembaga Gangga dan Banggala, bukan dengan alasan
bahwa Anak Benua Indi diperintahkan oleh para penguasa asing, tetapi karen
hari-hari terakhir pemerintahan inggris adalah puncak dari suatu perjuangan
ganda, yaitu pencapaian kemerdekaan India dan tuntutan Turki, Afgan dan Persia
atau penduduk setempat yang menganut agama Islam (hodson 1985, p 9)[24].
Perpecahan yang
terjadi di India pada dasarnya di sebabkan oleh persoalan Agama. Yang dimana
hal itu bukanlah barang baru, karena sudah sering terjadi. Tetapi konflik
Hindu-Islam mempunyai makna lain, bukan hanya sekedar pertentangan agama.
Hinduisme merupakan suatu jalan hidup, yang mencakup setiap aspek kehidupan
dalam kesehariannya, hubungan sosial dan pemikiran personal. Perkawinan dalam
masyarakat Hindu bukan saja disucikan oleh ritus agama, ia diatur ole
aturan-aturan sosial yang rumit yang tidak mungkin untuk melepaskan diri dan
dijerat dengan keyakinan agama menentukan sikap terhadap binatang, obyek, dan
kedudukan tertentu, memberikan struktur aturan personalnya sendiri. Sistem
kasta adalah integral bagi Hinduisme. Setiap orang Hindu mempunyai kasta, yang
menjadi bagian hidup sejaklahir sampai masuk ke liang kubur. Kasta mengatur
ketaatan keagamaan, hubungan sosial, kedudkan dan kehidupan.[25]
Islamisme juga
mempunyai sifat masyarakat agama, suatu cara hidup, dalan beberapa hala jauh
lebih keras dari Hinduisme, misalnya dalam hal puasa. Kaum Muslim India juga
mempunyai sistem aturan personal, peraturan tingkah laku dari lahir sampai
mati, menetukan sikap tertentu terhadap makhluk lain dan kejadian-kejadian
biasa, ketaatan, praktek dan larangan, yang oleh orang Hindu dianggap
menjijikkan, begitu juga sebaliknya kebiasaan Hindu dianggap kaum Muslimin juga
menjijikkan.[26]
Kaum Muslimin
dapat mempertahankan harga diri dan perlawanan komunal atas kesadaran sebagai
bagian dari persaudaraan umat Islam dunia. Masyarakat Muslim dan mayoritasnya
di propinsi barat laut dan timur laut diperoleh dari ingatan historis akan
kejayaan masa silamnya. Dari supremasi otoritas masa silam, misalnya, Hyderabad,
penguasanya Muslim tetapi mayoritas rakyatnya Hindu, merupakan bukti dan saksi
yang masih ada.[27]
Ada suatu
ketegangan dalam sikap Islam Anak benua India yang mengantar pada pembagian
komunal sebagai suatu kepentingan dan tujuan politik. Dari sejak awal Islam
telah menjadi iman yang menaklukkan dan pembentukan imperium. Setelah Islam
berkuasa di anak Benua India, tidak seorang raja Hindupun yang berhasil
menguasai kaum Muslim di seluruh lembah Indus dan Gangga. Eskipun kesultanan
Moghul sudah surut mereka tetap berada di Delhi samapi tahun 1857. Dalam
ingatan rakyat yang beragama Islam mereka telah menjadi penguasa bukannya yang
dikuasai.[28]
Menurut
pemerintah kolonial Inggris kaum Muslimin bertanggung jawab atas terjadinya India
Mutiny tahub 1857. Lagi pula di kalangan terpelajar dan pedagang India yang
semakin banyak ambil bagian dalam kehidupana umum yang berhubungan dengan
Inggris, kaum Muslimin sedikit jumlahnya dibandingkan dengan mereka yang
beragama Hindu. Adanya India Act-1892 tidak memberi tempat kepada kaum
Muslimin untuk ikut serta di dalamnya karena kriteria yang diperlukan antara
lain kemampuan berbahasa Inggris. Tetapi kebijakan Lord Dufferin tersebut tidak
dilanjutkan oleh penggantinya dengana alasan ntuk dapat menguasai kehidupan
politik India yaitu dengan mendukung politik komunal terpisah atau perwakilan
kelompok. [29]
Suatu tahapan
amat penting dicapai dengan adanya Morley-Minto reforms-1909. Hak-hak
dewan legislatif pusat dan propinsi diperluas. Untuk keperluan itu keanggotaan
dewan diperluas dan prinsip pemilihan anggota tidak resmi diberikan kepada kaum
Muslimin. Perkembangan baru ini diambil karena pemerintah Inggris melihat
kesadaran politik dan anbisi kelas terpelajar di India. Dalam tubuh kongres
yang dibentuk tahun 1885, pada awal abad ke XX muncul tuntutan untuk memeritah
sendiri secara bertanggung jawab, yaitu dari kaum militan. Banyak pemimpin
Islammenjadi gelisah karenanya. Pendukung kongres terutama orang-orang Hindu.
Suatu keputusan dipimpin oleh Agha Khan mengajukan sistem pemilihan terpisah
kepada Raja Muda Lord Minto berdasarkan sumbangan mereka untuk mempertahankan
imperuim dan tradisi mereka.[30]
Kemudian, orang
Islam menyatakan diri sebagai kelompok terpisah oleh Sir Sayid Ahmad Khan, di
konkretkan dalam perundang-undangan atas usulan delegasi Ahmad khan yang telah
kami sebutkan sebelumnya (India Act-1909), diberi nama Pakistan
atas prakarsa Rahmat Ali, diberi cakupan wilayah India Barat laut oleh Muhammad
Iqbal dan disahkan menjadi Resolusi Pakistan dalam sidang tahun di Lahore yang Isinya adalah wilayah-wilayah yang umat Islam
berada dalam mayoritas zona barat laut dan timur India harus dikelompokkan
sebagai negara yang merdeka.[31],
pada bulan Maret 1940; memperoleh kedaulatan dari tangan Inggris pada tanggal
14 Agustus 1947, terdiri dari Pakistan Barat dan Timur (sekarang Pakistan dan
Bangladesh). Pada saat-saat terakhir penyerahan kedaulatan, peranan Muhammad
Ali Jinnah sebagai juru bicara kaum Muslimin sangat menentukan.[32]
Hal-hal yang
memungkinkan keberhasilan Jinnah adalah periode Perang Dunia II. Para pemimpin
Kongres dipenjarakan, Liga yang menggunakan taktik bekerja sama dengan Inggris
mampu berbenah diri tanpa dirintangi oleh Kongres justru dikendalikan oleh Liga
dalam upaya memenuhi tuntutannya. Kongres yang berusaha melebur Liga setelah
kemenangannya dalam pemilu tahun 1973, harus merelakan Liga memisahkan diri
sebagai bangsa baru untuk menghindari huru hara dan pertumpahan darah, tetapi
pertimbangannya itu ternyata gagal dijudkan. India da Pakistan berdiri sebagai
dua bangsa baru dengan tragedi mengerikan yang sukar untuk dilupakan oleh kedua
bangsa, yakni meletusnya Perang Kashmir. [33]
D. Kondisi
Masyarakat Pakistan
Sejak awal
berdirinya Pakistan sudah menghadapi banyak permasalahan. Meskipun penduduknya
homogen dalam Agama, kenyataannya mereka adalah gabungan dari rakyat dengan 32
macam bahasa dan sentimen daerah yang kuat. Di samping itu secara geografis
wilayah Pakistan terpisah menjadi dua, yaitu Pakistan Barat dan Timur. Kedua
wilayah ini dipisahkan oleh wilayah India sepanjang 2000 km.[34]
Kesulitan lain
adalah masalah kurangnya tenaga ahli administrasi pemerintahan. Letak ibu Kota
Negara yaitu Karachi kurang strategis karena tanpa dukungan infra struktur
industri. Kesulitan politik juga muncul yaitu kurangnya komunikasi pusat dan
daerah. Karena belum adanya organiasi yang terbina. Keadaan inilah yang harus
dihadapi oleh Muh Ali Jinnah, presiden pertama Pakistan, sampai akhir hayatnya
(1948). Perdana menteri Liaqat Ali Khan, pengganti Jinnah, kurang memiliki
otoritas. Akibatnnya, kekacauan politik dan sosial tetap berlangsung,
sehinggasituasinya benar-benar kacau. Seluruh energi pemerintah dikerahkan
untuk menjaga integritas bangsa.[35]
Setelah
kekacauan sosial dapat diatasi muncul masalah lain yaitu penetuan identitas nasional
mengenai bentuk negara. Ada dua kecendrungan dalam perumusannya. Pertama,
sebuah negara tradisional diamana hubungan organik agama dan negara didasarkan pada syari’ah. Kedua,
sebuah negara bangsa modern yang
berdasarkan perundang-undangan Barat dengan perhitungan-perhitungan sekulernya.
Permasalahan ini menimbulkan tarik-menarik anatara pimpinan politik yang
berpendidikan Barat dan pimpinan Agama.[36]
Setelah melalui
perdebatan selama 9 tahun, badan konstituante berhasil menyusun konstitusi 1956
yang merupakan hasil kompromi antara kaum modernis dan tradisionalis. Dalam
konstitusi tersebut dirumuskan bahwa nama negara adalah Republik Islam
Pakistan, bentuk negaranya adalah demokratis yang didasarkan atas
prinsip-prinsip Islam, kepala negara adalah muslim dan dibentuk suatu pusat
penelitian untuk membantu pemerintahan.[37]
E. Islam in
Pakistan[38]
Islam arrived
in the area now known as Pakistan in the year 711 AD, when the Umayyad Arab
Muslim dynasty sent a army led by warrior Muhammad IbnQasim against the ruler
of Sindh, Raja Dahir. This was due to the fact that Raja Dahir had given
shelter to many Princes Zoroastrians who fled the Islamic conquest of Iran.
The experience
of Pakistan regarding the interaction of religion and politics is unique
because it is integrally related to the idea of a separate homeland for Indian
Muslims who emerged in the late 1930's. Since then, since the founding of
Pakistan in 1947, however, influenced by the political development of Islam and
may remain so in the future.
Pakistan is a
country founded for Muslims, was proclaimed on August 14, 1947. The birth of
this country is the fruit of long struggle of Muslims in India to escape the domination
of the majority Hindus. Pakistan states that the architect was a dream of an
ideological state, where the Muslims were able to apply the teachings of Islam
and live in harmony with the instructions. Furthermore, this new country is a
democracy with the concept of popular sovereignty as a base. Therefore, the
Ijma 'as the implementation of collective Ijtihad is necessary so that the
scholars agreed into the legislative council to assist and lead the
conversation, talk about issues related to the law, at least in the
intermediate levels to Islamic law has been modernized. These ideas that later
became the basis of political thought Pakistan Muslim modernists.
Pakistan
standing and independence from Britain on August 14, 1947. He is a combination
of the five provinces of which are Balukistan India, Sind, Punjab, Bengal, and
Assam. Pakistan is a beginning designer Muhammad Iqbal (1873-1938 AD) and which
embodies the design is the Muhammad Ali Jinah (1876-1948 AD).
Modernist
figures who supported the establishment of Pakistan is Ahmad Khan, Syed Amir
Ali, and Muhammad Iqbal. In addition, the establishment of Pakistan State also
has the support of (a). Jama'ah Tabliq leader Muhammad Ilyas, (b). Ashraf Ali
Sufi movement led Tsanvi; (c). Jama'ahIslamiyah leader Abu Al-A'la Al-Mawdudi,
(d).Khilafah movement headed by Muhammad Ali Jauhar (e).Khaksar motion
Inayatullah Al-Masyruqi leadership.
The first is
the President of Pakistan Muhammad Ali Jinah to death (1948 AD). after the
death of Muhammad Ali Jinah, Muslim Pakistan are faced with the contradictions
that occur due to: first Liaqot Ali Khan, the successor to Ali Jinah lacks
clear authority. And two Muslims are divided into two groups, namely the
modernist (western educated Muslims) and traditionalists (who want the
relationship between religion and state regulation is based on Islamic
Shari'ah). This conflict gave birth to the Constitution 1956 (as a compromise)
that determines: (a). form is a democratic state based on Islamic Shari'ah
principles, (b). the head of state should be Muslim, and (c). research center
established to help government (Nasution Harun, 1986).
Ayub Khan to
power in a coup in 1958. In his days, the constitution was amended by the 1956
changes: (a). Islam liberation from superstition and promote these through the
development of science, and (b). established the Advisory Council of Islamic
ideology (Islamic Research Institute). This policy was opposed by traditional
scholars. Ayub Khan was replaced by Yahya Khan; Yahya Khan and Zulfikar Ali
Bhutto was replaced by; and Zulfikar Ali Bhutto by Zia ulHaq's coup (5 July
1977). ZiaulHaq tried to realize the Islamic Shari'ah through: (a).
establishment of the Committee and the collector and distributor of the Zakat
tax, (b). Establishment of Sharia Court, (c). elimination of Riba in the
banking system, and (d). revision of textbooks in schools and colleges.
F. Perkembangan Politik
Pakistan
Pada 1971, Zulfikar Ali Bhuto
memegang kekuasaan dengan membangun Partai Rakyat Pakistan (PPP) da atas “puing-puing”
kegagalan penerintah Ayub Khan. Zulfikar Ali Bhuto adalah seorang
politikus-sekuler modern yang yang kecenderungan ideologisnya ke arah
sosialisme. Kendatipun demikian, munculnya rangkaian peristiwa-peristiwa yang
terjadi di Pakistan telah mendorong Bhuto secara progresif meningkatkan
seruannya terhadap islam. Lalu, diluar kebijaksanaan politiknya, ia membuat
proses pembuatan sistem politik dan sosial-ekonomi pemerintah yang lebih
islami.[39]
Pada 1973, perdana mentri Zulfikar
Ali Bhuto menetapkan pakistan sebagai Negara Republik Sosial Islam. Dibawah
kepemimpinanya bersama Partai Rakyat Pakistan dari 1970-1977. Zulfikar Ali
Bhuto dalam kebijakan-kebijakan politiknya banyak memejukan kebijakan
sosialisme dengan kepercayaan dan nilai-nilai islam yang dipengaruhi oleh
bentuk-bentuk sosialisme barat.[40]
Kemudian, pada
akhirnya di bulan Juli 1977 rezim Ali Bhutto berakhir secara menyedihkan. Yakni
setelah menyingkirkan banyak orang yang pada mulanya mendukungnya, ia juga
berusaha menghasut suatu oposisi tang terpecah belah secara luas untuk
membentuk sebuah front persatuan guna pemilihan umum pada bulan Maret 1977.
Ketika front ini gagal pada dasarnya karena campu tangan pemerintah yang
berlebihan, mencapai suara mayoritas, ia melancarkan agitasi masa yang
melumpuhkan nefara, dan memberikan kesempatan kepada angkatan bersenjata di
bawah pimpinan Jenderal Zia ul-Haq untuk ikut campur tangan.[41]
Pembenaran awal jenderal Zia atas tindakan
militer adalah bahwa Bhutto telah kehilangan hak moralnya untuk memerintah.
Angkatan bersenjata tidak hanya mempunyai tugas untuk campur tangan dalam
mencegah kekacauan lebih lanjut dan untuk menjaminpemilihan umum yang segar,
karena pada saat itu (1977) akan berlangsung Pemilu untuk dewan nasional dan
propinsi[42].
Melainkan juga berkewajiban menghadapkan pemerintahan Bhutto ke pengadilan.
Dalam proses yang berlarut-larut yang mebcapai puncaknya dengan hukuman mati atas
Bhutto pada bulan April 1979, muncul sebuah versi yang agak berbeda tentang
tugas angkatan bersenjata. Kini harus kembali bukan kepada dempkrasi banyak
partai yang digambarkan di dalam konstitusi tahun 1973, tetapi kepada suatu
bentuk demokrasi yang betul-betul bercirikan Islam. [43]
Jenderal Zia
menyadari bahwa ia dibenarkan dalam tindakannya karena tidak ada Muslim tulus
yang dapat meragukan apakah tindakan-tindakan itu sejalan dengan
prinsip-prinsip Islam, dia atasnya Pakistan didirikan. Karena itu pada bulan
September 1980, dalam sebuah pidato pada hari peringatan wafatnya Jinnah, ia
mengatakan bahwa langkah-langkah yang diambil sekarang ini untuk membangun
suatu tatanan sosial Islam di Pakistan merupakan manifestasi sebanarnya dari
impian-impian Jinnah.[44]
G. Tokoh-tokoh
Nasionalisme India Pakistan
Cukup banyak
tokoh-tokoh islam yang tampil memimpin umatnya untuk mencapai tujuan tersebut,
diantaranya adalah Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah. Iqbal terkenal
sebagai seorang filosof, penyair, dan pencetus ide negara Pakistan, sedangkan
Ali Jinnah adalah tokoh yang memperjuangkan hingga lahirnya negara pakistan.
Serta Terlahir juga tokoh-tokoh pembaruan yang membangkitkan kesadaran ummat
Islam tentang ajaran Isalm yang benar dan memberi motivasi kebangkitan
perlawanan jihad terhadap pemerintahan inggris, diantara mereka itu Syah
Waliullah, Abdul Aziz, yang kemudian berpengaruh dalam gerakan melaksanakan
ajaran-ajaran adalah Sayyid Ahmad dan lain lain.
Tokoh yang
paling berpengaruh menyadarkan keterbelakangan ummat Islam ketika berada di
bawah belenggu penjajahan Inggris adalah Syahid Ahmad Syahid lahir tahun 1786
di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di deket Lucknow. Masa muda, ia
memasuki pasukan berkuda Nawab Amir Khan. Di sinilah ia memperoleh pengetahuan
dan pengalaman militer yang dibelakang hari berarti baginya dalam memimpin
Gerakan Mujahidin. Setelah Nawab Amir Khan mengadakan damai dengan kekuasaan
Inggris di India, ia meninggalkan lapangan militer dan pergi ke Delhi untuk
belajar pada Syah Abdul Aziz.[45]
Sayyid Ahmad
berkeyakinan bahwa ummat Islam India mundur karena agama yang mereka anut tidak
lagi Islam murni, tapi Islam yang telah bercampur baur dengan paham dan praktik
yang berasal dari Persia dan India baik ajaran agama Zoroaster maupun ajaran
Hindu yang mengarahkan hidup kepada mematikan nafsu dan menjauhi dunia secara
berlebihan. Keadaan demikian membawa ummat Islam India berada dalam kondisi
mental dan teologi yang salah, dan harus dikembalikan kepada ajaran Islam yang
murni. Untuk mengetahui ajaran yang murni itu orang harus kembali ke sumbernya
aslinya Al-Qur’an dan Hadist. Dengan kembali kepada kedua sumber asli ini
bid’ah dan khurafat yang melekat ke tubuh Islam akan dapat dihilangkan.[46]
Gerakan
Mujahidin yang dipelopori oleh Ahmad Syahid ini lebih berorientasi kepada
dinamika sosial menggerakkan ummat Islam supaya mempunyai motivasi islami dalam
mengobarkan jihad melawan Inggris. Dengan landasan jihad seperti itulah bisa
mengembangkan ide pembaruanya. Dari tindakan yang menggaet pihak Hindu dan
kelompok lain yang tidak beragama Islam untuk melawan Inggris. Begitu juga
sikap empatinya membuat gerakan Mujahidin banyak simpati dari berbagai kalangan
yang sefaham dengan cita-cita nasionalisme India.[47]
Ide-ide yang
lebih besar dari Sayyid Ahmad adalah di bidang politik.Garis politik Sayid
Ahmad nampak sangat konsisten, ia mengakui bahwa India pada saat itu bukan
negara Islam sebab India telah menampung beberapa agama. Selanjutnya Sayyid
melakukan peperangan terhadap kelompok Syih sebelum memerangi Inggris karena
kelompok Syih sering melakukan peperangan terhadap umat Islam, dan pada saat
itu Inggris telah menguasai ekonomi,persenjataandan kemampuan Iptek yang tinggi
di India, Maka sebelum melakukan perlawanan terhadap Inggris, Sayyid harus
menguasai daerah daerah India untuk berhimpun menghancurkan Inggris.[48]
Selain Sayyid
Ahmad ada juga tokoh yang berperan menjadi nasionalisme India yaitu Ammir Ali
dan Abu Kalam Azad. Amir Ali merupakan seorang politikus, ia mendirikan partai
politik National Muhammadan Associaotion yang kemudian menjadi partai nasional.
Organisasi tersebut bertujuan untuk melindungi Hak-hak umat Islam saat itu
dalam usaha persaingan yang keras dengan warga hindu. Beliau menghidupkan
kembali rasionalitas, dengan cara menyusun ide ide pembaruan yang dituangkan di
atas kertas, yang sering kita dengar yaitu buku dengan judul The Spirit of
Islam yang dicetak pada tahun 1891. Buku ini berisi tentang problema umat
Islam dan pemecahanya. Karya yang lain adalah Acritical Examination of the Life
and Teaching of Muhammad. Buku Ini merupakan upaya penafsiran kelompok
pembaru terhadap Islam. Pemikiran Amir Ali walaupun dinilai berbau apologetik
tentang Islam, namun justru denga gaya berpikirnya seperti itu dianggap mampu
menampilkan pembelaan yang tinggi terhadap Islam. Selain itu, Amir Ali mampu
mengangkat citra ummat Islam India tanpa harus berobsesi mengorbankan kelompok
keagamaan lain. Ini semua karena semangat nasionalisme yang didasari
solidaritas Islam atas perbedaan keyakinan lain yang dianggap mempunyai citra
tersendiri di mata umatnya bahkan di mata barat. Tokoh yang lain adalah Abu
Kalam Azab beliau adalah tokoh nasionalisme murni. Ide nasionalisme yang
dilontarpkan antara lain tentang persatuan antara umat Islam dengan umat Hindu
dalam menghadapi bangsa asing. Beliau berpendapat bahwa jalan untuk memperoleh
kemerdekaan bukan meminta minta dan bersikap lunak dengan Inggris, tapi
haruslah dilawan dengan kekerasan dan tekanan. Pada tahun 1929 dibentuklah
kelompok Nasionalis Islam di dalam partai Konggres yang diketuai oleh dia
sendiri. Tujuanya untuk membangkitkan jiwa patriotisme di kalangan ummat Islam
India, terutama sekali menyelesaikan faham antara Hindu dan Islam. Tapi Usaha
tersebut tidak membuahkan hasil yang berarti, karena ummat Islam masih tidak
bisa menghilangkan kecurigaan mereka terhadap Hindu. [49]
H. Perkembangan Keilmuan
Islam di India-Pakistan[50]
Perkembangan
keilmuan Islam di India-Pakistan yang pesat pertumbuhannya dapat terlihat dari
beberapa aspek: pertama, kemunculan tokoh-tokoh muslim pemikir sekaligus
pemimpin penting di India-Pakistan yang pemikiranpemikirannya banyak
menginspirasi sarjana-sarjana muslim lain, bahkan di luar India dan Asia. Mulai
abad ke-19, muncul Shah Waliyullah al-Dihlawi (1703– 1762), Ia adalah seorang pemimpin
tarikat Naqshabandi yang juga pemikir keagamaan dan kenegaraan. Melihat
melemahnya konfigurasi regional baru di India, ia mencetuskan ide tentang
pengangkatan pangeran Mughal, seperti Afghan Shah Abdali sebagai pemimpin India
(Mercalf, 1993: 189).
Sayyid Ahmad
Khan (1817-1898), Muhammad Iqbal (1877-1938), Mawlana Muhammad Ilyas
(1885-1944), Mawlana Abu al-A’la al-Mawdudi (1903-1979), dan Mawlana Abu
al-Hasan ‘Ali Nadvi (lahir 1914), juga Fazlur Rahman (wafat 1988), pengagum
Iqbal sekaligus seorang pemikir yang tegas dan provokatif dengan ideidenya
mengenai reformulasi doktrin dan praktik sosial dalam Islam. Dalam teorinya
Fazlur Rahman menekankan bahwa penafsir al-Qur’an tradisional telah gagal dalam
melihat prinsip universal dari al-Qur’an sebagai sebuah kesatuan.
Kedua tumbuh
suburnya madrasah-madrasah dan masjid-masjid yang dijadikan pusat kegiatan
intelektual dan keagamaan. Di Pakistan, terdapat sekitar 200.000 masjid yang
menjadi pusat 350.000 fungsionaris religius seperti imam, khatib dan khadim.
Tidak seperti kebanyakan negara Muslim di Timur-Tengah, jaringan masjid dan
madrasah di Pakistan bergerak di luar kendali pemerintah dengan otonomi penuh.
Dan biasanya, dalam desa kecil yang tidak memiliki gedung publik, masjid biasa
dijadikan forum untuk mendiskusikan isu-isu publik (Ahmad, 1999: 296).
Adapun
madrasah, telah sejak dulu menjadi pusat studi Islam klasik sekaligus menjaga
tradisi ortodoks di Asia Selatan. Di Pakistan, terdapat tidak kurang dari 2.000
madrasah yang menampung 316.000 murid. Jumlah yang besar ini adalah warisan
dari kebangkitan pendidikan Islam di India sejak akhir abad ke-19. Tujuan utama
didirikannya madrasah adalah: (1) memelihara tradisi Islam ortodoks, (2)
melatih sarjana dan fungsionaris Islam, (3) menyiapkan pemimpin politik yang
ulet, (4) membangunkan kembali kesadaran akan solidaritas Islam di Asia
Selatan.
Sedangkan di
India, seharusnya kota Delhi memiliki banyak masjid dan madrasah sekaligus
bangunan-bangunan berasitektur khas Islam karena selama ratusan tahun,
dinasti-dinasti Islam slih berganti menjadikan Delhi pusat pemerintahannya.
Namun, peninggalan-peninggalan yang ada sekarang hanyalah yang ditinggalkan
oleh dinasti terakhir, Mughal, karena warian-warisan yang sebelumnya telah
diratakan dengan tanah oleh Timur Lenk (Yatim, 1989: 289-291).
I. Islam dan
Politik di India-Pakistan[51]
Perbedaan
prinsipil antara Islam di India dan Pakistan adalah bahwa jumlah penganut Islam
di India menjadi minoritas, berbanding terbalik dengan kondisi di Pakistan yang
menjadi mayoritas. Keadaan ini tidak memberikan banyak pilihan dan kesempatan
bagi umat Islam di India untuk ikut andil dalam politik negara, meskipun secara
de jure, pada 1957, konstitusi India memberikan untuk pertama kalinya kepada
umat Islam di Asia Selatan kesempatan untuk menunjukkan kekuatannya. Konstitusi
India dewasa ini mengadopsi model sekuler dengan pandangan modern dan liberal.
Kesempatan yang diberikan oleh kontitusi India dimanfaatkan oleh umat Islam di
sana untuk memperoleh jabatan publik. Mereka mengikuti pemilihan dan
mendapatkan kursi di parlemen (national and state legislatures). Beberapa
bahkan masuk dalam kabinet, menjadi gubernur dan hakim pada mahkamah agung
meskipun presentasenya masih lebih kecil di bandingkan populasinya
(Shahabuddin, 1987: 158-159).
Meski umat
Islam di sana menjadi minoritas, namun umat Hindu yang jumlahnya hampir 81% pun
terbagi menjadi banyak golongan-golongan kecil berdasarkan suku, agama dan
sektenya masing-masing. Hasilnya, undang-undang India menjadi protektif
terhadap kepentingan minoritas. Shahabudin (1987: 153-155) mencontohkan Pasal
ke-14 misalnya, menjamin kesetaraan seluruh warga negara tanpa diskriminasi.
Sementara dalam pasal 26,27 dan 28, kaum minoritas dijamin kebebasannya untuk
menata kehidupan keagamaannya. Pemerintah tidak diperkenankan mengambil
retribusi terhadap kegiatan-kegiatan promosi maingmasing agamas serta tidak
mewajibkan seremoni peribadatan tertentu dalam sekolah-sekolah negeri. walaupun
demikian terdapat beberapa pasal yang sarat kepentingan umat Hindu sebagai
mayoritas. Di antaranya adalah pasal anti penyembelihan sapi yang sering
dianggap sebagai usaha pemerintah memaksakan etika kultural Hindu terhadap
Muslim.
Faruqi (1987:
55-56) mengatakan bahwa di Pakistan, keadaan ini berbalik 180 derajat.
Prinsip-prinsip Islam bahkan menjadi dasar dalam penetapan undangundangnya.
Pada kurun 1947-1971, tiga kali Pakistan mengalami perombakan konstitusi, namun
ketiganya tetap mengakomodir prinsip-prinsip: (1) ke-maha kuasa-an Allah, (2)
demokrasi, kebebasan, kesetaraan, toleransi dan keadilan sosial, (3) akhlak
islami, (4) penyediaan fasilitas-fasilitas keagamaan, (5) pengajaran
ajaranajaran Islam, (6) ketaatan pada standard moral Islam, (7) pengelolaan
zakat dan wakaf, (8) larangan prostitusi, perjudian dan drug, (9) larangan
minuman beralkohol, (10) penghapusan riba, (11) larangan atas segala bentuk
penghinaan terhadap Islam.
Namun,
ketegangan muncul di Pakistan. Pakistan memiliki dua wilayah yang secara
geografis dan budaya berbeda: Pakistan Barat dan Timur. Kedua wilayah ini
terpisah ribuan mil. Secara umum, terlihat bahwa peran politik Pakistan Barat
lebih dominan, dan karenanya dianggap terlalu mengeksplotasi Timur. Tahun
1950-an, ketegangan memuncak di antara dua wilayah ini sebab faktor politis dan
sosial. Ketegangan ini memuncak setelah pembunuhan perdana menteri pertama Pakistan
Liaquat Ali Khantahun 1951, kekuataan politik mulai dipusatkan pada Presiden
Pakistan, dan kadang-kadang militer. Pakistan Timur menyadari jika salah satu
dari mereka, seperti Khawaja Nazimuddin, Muhammad Ali Bogra, atau Huseyn
Shaheed Suhrawardy, terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan, dengan cepat
mereka akan dijatuhkan oleh Pakistan Barat.
Kediktatoran
militer Ayub Khan (27 Oktober 1958 – 25 Maret1969) dan Yahya Khan (25 Maret
1969 – 20 Desember 1971), yang keduanya berasal dari Pakistan Barat, hanya
meningkatkan sikap bermusuhan Pakistan Timur. Di sisi sosialnya, penggunaan
bahasa “Urdu” sebagai bahasa nasional juga direspon negatif oleh Pakistan Timur
karena bahasa urdu memang digunakan oleh Pakistan barat, sementara pakistan
timur menggunkan bahasa Bengali (Lihat: David Taylor, 1985, “Politik Islam dan
Islamisasi di Pakistan”, dalam Harun Nasution (ed.), Perkembangan Modern Dalam
Islam, Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm. 153-154). Hingga pada 26
Maret 1971 Pakistan Timur resmi berpisah
dari Pakistan dan menjadi negara Bangladesh dengan 90% penduduknya Muslim.
Beberapa
pemerhati, seperti Mumtaz Ahmad (1988: 235), menganggap pecahnya Pakistan ini
sebagai ketidak-mampuan Islam sebagai sebuah sistem pada masa itu untuk menjadi
solusi alternatif bagi persatuan Pakistan. Kegagalan golongan elit di bidang
pemerintahan, pendidikan, politik dan sosial untuk menghubungkan Islam dengan
isu-isu yang aktual seperti persamaan distribusi ekonomi dan memberi suara pada
sektor-sektor yang secara politis berhubungan, menjadikan kaum minoritas
menganggap Islam tak lebih dari sekedar sarana eksploitasi saja.
J. Perekonomian
India-Pakistan Dalam Kancah Internasional[52]
Memang, negara
bekas jajahan Inggris terbukti bisa survive dan berkembang menjadi negara
besar. Ini dikarenakan, saat penjajahan, Inggris juga memperhatikan pendidikan
dari negara jajahannya. Itu pulalah yang terjadi di India. Saat ini, India
menjadi salah satu negara dengan perkembangan industri terpesat. Sebagai
gambaran tahun 2012 yang lalu, kemajuan ekonomi di India digadang-gadang akan
mampu menyaingi China karena beberapa alasan, yaitu; (1) konsumsi domestik yang
rendah, (2) upah pekerja yang murah, (3) tingginya populasi penduduk usia muda
(produktif), (4) kemampuan bahasa Inggris yang baik (Lihat:
www.liputan6/bisnis.com. Diakses tanggal 28 Maret 2013). Sayangnya, komunitas
Muslim di sana tidak menikmati kemajuan ini karena: 1.) Perginya beberapa tokoh
terpelajarnya Muslim ke Pakistan. Salah satunya adalah peristiwa eksodus
besar-besaran terjadi tahun 1947. Orang-orang Islam dari perkotaan di Utara
India yang kebanyakan adalah profesional dan kaum terpelajar pindah ke
Pakistan. Sebaliknya, penganut Sikh dan Hindu yang masih ada di Pakistan pindah
ke India. Migrasi yang sporadis ini terus berlangsung hingga 1971 (Shahabuddin,
1987: 157), 2.) Meningkatnya gerakan
anti-Muslim sejak 1990-an oleh kaum mayoritas (pemeluk agama Hindu). Hanya ada
beberapa nama, seperti Zakir Husain dan Fakhruddin Ali Ahmad yang tercatat
pernah sukses berkarir sebagai birokrat di India (Mercalf, 1993: 188).
Dalam hal
kesempatan memperoleh pekerjaan, jalur yang harus ditempuh umat Islam lebih
ribet dari pada umat Hindu. Meskipun untuk pekerjaan-pekerjaan level tinggi,
sebab utamanya disinyalir adalah kurangnya kemampuan umat Islam. Dalam hal
tersebut. Pada pabrik-pabrik di sektor privat, perbedaan ini jelas terlihat.
Dibandingkan non-Muslim, Jumlah pekerja Muslim total sebesar 7,23%, supervisor
2,23% dan eksekutif 1,5% (Shahabudin, 1987: 163-164).
Adapun
Pakistan, hingga saat ini belum mampu sepenuhnya membuktikan dirinya sebagai
negara Muslim yang stabil secara ekonomi. Baru-baru ini, IMF mendesak Pakistan
untuk mengurangi defisit anggaran yang besar guna mendukung ketahanan
ekonominya yang sedang sulit. IMF menyatakan pertumbuhan Pakistan masih terlalu
lemah, inflasi tinggi, dan neraca perdagangan menuju ke arah yang salah (Tania
Tobing, “Pertumbuhan Ekonomi Pakistan Masih Lemah”, dalam www.vibiznews.com.
Diakses tanggal 28 Maret 2013).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Inggris masuk ke India sejak tahun 1600 M.
Tujuan awalnya adalah berdagang melalui British East India Company atau
lebih dikenal dengan EIC, pada abad ke 18 Inggis membelokkan tujuannya dan mulai berusaha
untuk menguasai IndiaInggris di India,
Saat itu kekuatan Mughal mulai melemah sehingga Inggris dengan mudah
menundukkan satu persatu wilayah Mughal.kemudian dengan usaha-usaha yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh nasionalisme, India mencapai kemerdekaan pada ahun
1947. Pada Kongres tahunan di Lahore tercapai kesepakatan yang menyatakan
kemerdekaan Pakistan dari Inggris maupun pembebasan wilayah dari India.
Pakistan berdiri sebagai negara Islam yang
diproklamasika pada tanggal 14 Agustus 1947 oleh Muhammad Ali Jinnah.kemudian
pada konstitusi 1956 dirumuskan bahwa
nama negara adalah Republik Islam Pakistan, bentuk negaranya adalah demokratis
yang didasarkan atas prinsip-prinsip Islam. Tokoh-tokoh yang sanga sangat
berperan dalam kemerdekaan Pakistan adalah Sir Sayid Ahmad Khan, Ahmad khan
Rahmat Ali, Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, Pakistan mengalami
banyak masalah, baik deri segi sosial, segi ekonomi, segi agama, sampai kepada
terjadinya peperangan dengan negara India. Dan juga konflik antar penguasa
sampai di hukum matinya Ali bhutto. Namun dari segi keilmuan, Pakistan
mengalami kemajuan yakni dengan munculnya tokoh-tokoh Muslim pemikir sekaligus
peminpin, diantaranya adalah, Sayyid
Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Mawlana Muhammad Ilyas, Mawlana Abu al-A’la
al-Mawdudi, Mawlana Abu al-Hasan ‘Ali Nadvi dan Fazlur Rahman. Juga tumbuh
suburnya madrasah-madrasah dan masjid-masjid yang dijadikan pusat kegiatan
intelektual dan keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Sodiqin dkk, Sejarah Peradaban Islam. Dari Masa
Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta;LESFI,2002)
A.Sani,Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern
Dalam Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1998)
B.Musidi, Anak Benua India Sejarah Ringkas Dari1600-1977
(Yogyakarta: appti, 1015).
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975,)
Harun Nasution dan Azyumardi Azra. Perkembangan Modern
Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985)
Mukti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung:Mizan,1995),
Sulasman, Islam In South Asia: A Brief Overview On
Historical Development Of Islam In India, Pakistan, And Bangladesh. International
Journal of Asian Social Science ISSN(e): 2224-4441/ISSN(p): 2226-5139. journal
homepage: http://www.aessweb.com/journal-detail.php?id=5007. Di Akses 20 February 2017
Mu’ammar Zayn Qadafy, Peradaban Islam di India-Pakistan.
(AL MURABBI. Vol. 0No. 02. Januari-Juni 2015
ISSN 2406-775X 7 ). Di akses 22 Maret 2017
[1] Ali Sodiqin dkk, Sejarah Peradaban
Islam(Dari Masa Klasik Hingga Modern).(Yogyakarta;LESFI,2002),hlm.183
[2] ibid
[3] Ibid, hlm. 190
[5] Ibid,
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8] Hamka, sejarah umat lsam. Hlm. 517, dalam
Ali Sidiqin,dkk, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:LESFI, 2009). hlm.
189
[9] ibid
[10]B.Musidi, Anak Benua India Sejarah
Ringkas Dari1600-1977 (Yogyakarta: appti, 1015).
[11] Ibid,
[12] Ibid,
[13] B.Musidi, Anak Benua India Sejarah
Ringkas Dari1600-1977 (Yogyakarta: appti, 1015). hlm. 92
[14] Ali Sidiqin,dkk, Sejarah Peradaban
Islam (Yogyakarta:LESFI, 2009). hlm. 189-190
[15] Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975,) hlm. 166-167
[16] ibid
[17] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di
India dan Pakistan (Bandung:Mizan,1995), hlm.65-66
[18] Ibid, hlm.72-73
[22] ibid
[23] Jhon I.Episito,Dinamika kebangkitan
Umat Islam, dalam [23]
Ali Sidiqin,dkk, Sejarah
Peradaban Islam (Yogyakarta:LESFI, 2009). Hlm.191
[24] Ibid
[26] Ibid,hlm.95
[27] Ibid,
[28] Ibid,
[29] Ibid, hlm.96
[30] Ibid,
[31] Ali, Alam Pikiran, hlm 209 dalam
Ali Sidiqin ,dkk, Sejarah Peradaban Islam, hlm.191
[32] Ibid, hlm.106
[33] Ibid,
[34] Ali Sidiqin,dkk, Sejarah Peradaban
Islam, hlm.192
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Sulasman, Islam In
South Asia: A Brief Overview On Historical Development Of Islam In India,
Pakistan, And Bangladesh. International Journal of Asian Social Science ISSN(e):
2224-4441/ISSN(p): 2226-5139. journal
homepage: http://www.aessweb.com/journal-detail.php?id=5007. Di
Akses 20 February 2017
[39] mbk
[40] mbak
[41] Harun Nasution, Perkembangan Modern
Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985) hlm. 158
[42] [42]B.Musidi, Anak Benua India Sejarah
Ringkas Dari1600-1977 (Yogyakarta: appti, 1015). Hlm. 183
[43] ibid
[44] Ibid, hlm.159
[45]
A.Sani,Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan
Modern Dalam Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1998)
[46] Ibid, hal:140
[47] Ibid, hal:141
[48] Ibid, hal:142
[49] Ibid, hal: 145-157
[50]
Mu’ammar Zayn Qadafy, Peradaban Islam di
India-Pakistan. (AL MURABBI. Vol. 01 No. 02. Januari-Juni 2015 ISSN 2406-775X 7 )
[51] ibid
[52] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar