Jumat, 07 April 2017

INDIA PASCA IMPERIALISME BARAT


 

                                                Disusun Oleh Kelompok XX :
                                          Nurwahidah                                  (15420071)
                                          Aidah                                            (144200)
                                         Nining                                            (144200)


PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
 UIN SUNAN KALIJAGA
 YOGYAKARTA
2017


BAB I
PENDAHULUAN
  A.    Latar Belakang Masalah
Kawasan Asia Selatan, merupakan wilayah yang memiliki kesatuan geografis tetapi dalam sejarahnya penuh dengan pertentangan
. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa masyarakat di wilayah tersebut terdiri dari berbagai golongan dan ras yang memiliki keturunan, bahasa, kebudayaan, dan kepercayaan yang berbeda. Dengan kata lain tidak pernah terjadi kesatuan politik. Wilayah ini mudah ditundukkan oleh kekuatan lain, termasuk Islam.[1]
Islam bukan merupakan kekuatan luar pertama yang masuk dan menduduki kawasan ini. Sebelumnnya bangsa Arya pada abad ke-VI SM sudah menaklukkan India. Islam baru masuk secara resmi pada tahun 711  M yang kemudian disusul Inggris pada tahun 1757 M. Meskipun datang kemudian, Islam mampu memberi warna pada kebudayaan setempat. Peradaban Islam mampu mengakar dan memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan masyarakat. Hal ini karena Islam sebagai kekuatan Islam dan politik pernah memerintah negeri ini selama kurang lebih tiga abad melalui Dinasti Mughal (1952-1857).[2]
Namun, setelah kerajaan Mughal runtuh pada tahun 1857, ketika Inggris telah berhasil menguasai seluruh kawasan anak benua India, pada saat itulah  keadaan masyarakat Islam di India terpecah menjadi tiga kelompok yang berbeda strategi dalam merespon imperialisme barat. Pertama, kelompok yang non-kooperatif yang di pelopori oleh ulama tradisional Deoband. Kedua, bekerjasama dengan Inggris, diwakili oleh Sayyid Ahmad Khan, dan ketiga menjaga jarak dengan Inggris, yang dimotori oleh gerakan Aligarh yang merupakan  pengikut Ahmad Khan.
Kelompok penentang melakukan perlawanan melalui gerakan Anti Inggris. Puncaknya adalah meletusnya Revolusi Multiny pada tahun 1857.[3]  Dampak dari revolusi ini malah merugikan umat Islam sendiri, kondisi umat Islam menjadi lemah karena dari segi kuantitas tergolong minoritas. Namun tokoh-tokoh Islam di India tidak berhenti sampai disitu,dan terus berjuang untuk melawan imperialisme barat dan pada akhirnya India dapat mencapai kemerdekaan.  Dan yang lebih penting lagi bagi Umat Islam di India ialah dalam Liga Muslim India yang dilaksanakan ketika sidang tahunan 1940 tercapai kesepakatan yang dikenal dengan Revolusi Lahore atau Revolusi Pakistan.
Dari situ, disini penulis akan menguraikan tentang India pasca Imperialisme barat, tentang bagaimana kemerdekaan dapat diraih dan bagaimana proses terbentuknya negara Pakistan yang pada awalnya dilatarbelakangi oleh kesepakatan yang dikenal dengan Revolusi Lahore atau Revolusi Pakistan yang kami sebutkan sebelumnya.























BAB II
PEMBAHASAN 
  A.    India dan Imperialisme Barat
Inggris masuk ke India sejak tahun 1600 M. Tujuan awalnya adalah berdagang melalui British East India Company atau lebih dikenal dengan EIC. EIC merupakan sebutan  perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Untuk menunjang usahanya, beberapa pabrik didirikan, antara lain di Surath (1612), Madras (1640), Bombay (1647) dan Calcutta (1690). Pabrik-pabrik tersebut memproduksi kain sutera, sutra kasar, kain tenun dan lain-lain. Usaha lainnya adalah mengekspor nila dan rempah-rempah serta mengimpor emas, perak, dan hasil logam lainnya.[4]
Pada abad ke-18 terjadi pertempuran panjang antara Inggris dan Perancis karena berebut daerah jajahan di Asia. Hasilnya Inggris mengalahkan Perancis. Kemenangan inilah yang kemudian membelokkan tujuan Inggris di India yang semula berdagangang berubah ingin menguasai. Saat itu kekuatan Mughal mulai melemah sehingga Inggris dengan mudah menundukkan satu persatu wilayah Mughal.[5]
Daerah pertama yang dikuasai adalah Bengal yang berhasil direbut melalui pertempuran Plassey (1757). Di kota inilah didirikan pemerintahan otonom Inggris yang disusul kemudian wilayah Aud dan Orissa. Tahun 1772. Warrenm Hastings, Gubernur Jenderal Iggris di Bengal menyatukan pabrik-pabrik nya dan menciptakan kekuatan politik. Inilah awal dari imperialime Inggris di India.[6]
Kelemahan Mughal menjadi sebab makin leluasanya Inggris memperluas wilayah jajahan. pada masa pemerintahan Akbar II terjadi konsesi anatara Mughal dan EIC. Inggris bebas mengembangkan usahnya dan sebagai imbalannya Inggris memberi jaminan kehidupan raja dan keluarga istana. Sejak itu kerajaan raja tak ubahnya seorang pensiunan Inggris yang tidak punya kekuasaan sedikitpun.[7]
Puncak kekuasaan Inggris diraih pada tahun 1857 ketika kerajaan Mughal benar-benar jatuh dann rajanya yang terakhir, Bahadur Syah diusir ke Rangun (1858).[8] Inggris juga berusaha menguasai Afghanistan (1879) dan kesultanan Muslim Balucistan juga ditaklukkan (1899). Denga demikian imperialisme Inggris telah merata di seluruh anak benua India.[9]
Ada empat peristiwa penting yang mewarnai perkembangan imperium Inggris di anak benua India. Tahun 1757, Robert Clive mengawali tumbuh dan berkembangnya wilayah Inggris di Benggala. Kerjasama antara Mir Jafar dengan Robert Clive memungkinkan untuk meletakkan landasan bagi Inggris di kelak kemudian hari. Clive memperoleh tempat untuk membangun Calcutta yang dipakai sebagai pusat untuk mengendalikan EIC (East India Company).[10]
Perluasan wilayah yang dilancarkan oleh pihak Inggris berlangsung terus sampai tahun 1857, yaitu ketika terjadi pemberontakan Sepoy yang lebih dikenal dengan Indian  Mutiny, Akibat dari pemberontakan itu bagi Benggala penting artinya karena Calcutta ditinggalkan sebagai pusat pemerintahan EIC digantikan oleh New Delhi. Itu berarti Benggala bukan lagi sebagai pusat pemerintahan Inggris di Anak Benua India. EIC sebagai bahan dagang dihapuskan dan digantikan oleh pemerintah kolonial Inggris. Dari kelangsungan imperium Inggris itu berarti Pax Britanica sudah menjadi kenyataan di anak Benua India. Tidak satupun penguasa dari kawasan itu mampu menandingi Inggris.[11]
Dalam mengelola imperiumnya, pemerintah kolonial Inggris membedakan antara India States (kerajaan-kerajaan India) dan British India (daerah gubernemen). Pada tahun 1937, lewat pemilihan umum berdasarkan India Acr-1935, kaum Muslimin India menderita kekalahan telak, justru di daerah mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu di Benggala dan Sind. Berdasarkan kenyataan pahit ini Liga Muslimin lalu konsolidasi diri. Ibarat kapal, Liga memperoleh angin  buritan yaitu dengan terjadinya PD II. Liga mengambil sikap mendukung Inggris, sedang kongres menolak kerjasama dengan Inggris dalam usaha perang. Sementara itu para pemimpin kongres dipenjara, sehingga Liga dengan leluasa bebenah diri.[12]
Tahun 1947  tanggal 14 dan 15 Agustus 1947, Inggris menyerahkan kedaulatan kepada bangsa Pakistan dan India. Menjelang penyerahan kedaulatan terjadi suatu perubahan strategi antara Liga dan Kongres. Para pemimpin Liga yang sebelum peperangan berakhir mengambil sikap mendukung atau bekerjasama dengan Inggris kemudian berbalik menjadi menolak untuk bekerjasama. Sedang kongres yang sebelumnya menolak berubah menjadi mau bekerjasama dengan pihak Inggris. Tahun itu menandai gulung tikarnya pemerintahan kolonial Inggris yang telah dibangunnya sejak hampir dua abad lalu dengan puncaknya pada pertengahan abad XIX.[13]
  B.     Usaha-usaha Melepaskan diri dari Imperialisme
Sejak tahun 1818 M Inggris menjadi kekuatan terkemuka di sebagian besar wilayah India, terutama daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Bengal, dataran sungai Gangga dan wilayah sekitar lembah sungai Indus. Kehadiran Inggris mendapat reaksi yang beragam dari Umat Islam. Ada tiga kelompok yang berbeda strategi dalam merespon imperialisme Inggris. Pertama, kelompok yang non-kooperatif  yang dipelopori oleh ulama tradisional Deoband. Kedua, bekerjasama dengan Inggris, diwakili oleh Sayyid Ahnad Khan, dan ketiga, menjaga jarak dengan Inggris, yang dimotori oleh gerakan Aligarh yang merupakan pengikut Ahmad Khan.[14]
Kelompok penentang mengadakan perlawanan melalui gerakan anti Inggris. Puncaknya adalah meletusnya revolusi multiny pada tahun 1857. Banyak perwira dan pejabat Inggris yang dibunuh. Namun, gerakan ini dapat dipadamkan karena tidak didukung kekuatan yang memadai. Revolusi ini dipicu oleh sikap Inggris yang tidak bersahabat dengan rakyat India. Orang-orang India, baik yang Hindu maupun Islam tidak diikut sertakan di parlemen.di samping itu Inggris juga mengintervensi dalam soal-soal keagamaan.[15]
Dampak dari revolusi ini justru merugikan umat Islam yang dianggap sebagai pemicunya. Pemerintah Inggris mulai merangkul orang Hindu dan mengucilkan umat Islam. Keadaan ini menjadikan posisi umat Islam lemah karena dari segi kuantitas tergolong minoritas. Menyadari hal tersebut, tampillah Sayid Ahmad Khan dengan strategi barunya. Menurutnya loyalitas terhadap pemerintah Inggris merupakan suatu keharusan untuk mensejahterakan umat Islam.[16] Karena permusuhan tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya akan mempersulit untuk bisa masuk ke pemerintahan.
Usaha Khan yang lain adalah membentuk lembaga pendidikan untuk mencerdaskan umat Islam. Tahun 1859 dia mendirikan the translation Society di Moradabad, ia menerjemahkan buku-buku seni dan sains.[17] Untuk meningkatkan moral dan aktifitas dibentuk majalah Tahzib al-Akhlak (1857), yang kemudian berubah menjadi Universitas Aligarh (1920) dengan menggunakan kurikulum barat.[18]
Di bidang politik, kaum muslimin juga ikut ambil bagian. Pada waktu itu di India terdapat dua organisasi politik besar, yaitu partai Kongres Nasional pimpinan Jawaharlal Nehru dimana anggotanya terdiri dari orang Hindu dan Islam, dan Liga Muslim India, yang khusus didirikan oleh dan untuk umat Islam. Kedua partai ini tidak pernah dapat mempersatukan visi mereka di bawah bendera nasionalisme India. Hal ini disebabkan masing-masing partai memiliki prioritas kepentingan yang berbeda. Meskipun berbagai usaha di tempuh, namun tidak pernah berujung pada kesepakatan.[19]
Masalah-masalah kursial yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah penetuan sistem pemilihan umum, penetapan propinsi dalam  konsideran dan pemerintahan serta visi tentang negara. Kedua organisasi tersebut membentuk komite untuk mewujudkan rencana bersama yang dikenal dengan Pacta Lucknow.[20] Namun usaha ini tidak mengalami kemajuan sehingga diadakan Konperensi Meja Bundar pada tahun 1930. Hasil dari konperensi ini juga tidak mampu memberikan solusi permasalahan.[21]
Dipihak Liga Muslim India tercapai kesepakatan yang dihasilkan melalui sidang tahunan pada tahun 1940. Kesepakatan tersebut dikenal dengan Revolusi Lahore atau Revolusi Pakistan. Isinya adalah : wilayah-wilayah yang umat Islam berada dalam mayoritas seperti zona barat laut dan timur India harus dikelompokan sebagai negara merdeka.[22]  Wilayah-wilayah inilah yang sekarang  menjadi negara Pakistan.
Pada tahun 1942 pemerintah Inggris melalui Stafford Cripps menawarkan kemerdekaan kepada India setelah perang Dunia II. Inggris juga menyetujui hak menetukan diri sendiri pada pemerintahan propinsi untuk memilih tetap sebagai bagian dari India atau berdiri sendiri sehingga propinsi yang umat Islamnya mayoritas dapat membentuk federasi tesendiri.[23]
  C.     Latar Belakang Drama Pemilahan India-Pakistan
Pemindahan kekuasaan dari tangan Inggris ke India dan Pakistan berawal dari pencaplokan punjab oleh muhmad gazni ( 1018), lebih serius oleh Muhammad Ghuri (1992) dan dilanjutkan dengan penaklukan lembaga Gangga dan Banggala, bukan dengan alasan bahwa Anak Benua Indi diperintahkan oleh para penguasa asing, tetapi karen hari-hari terakhir pemerintahan inggris adalah puncak dari suatu perjuangan ganda, yaitu pencapaian kemerdekaan India dan tuntutan Turki, Afgan dan Persia atau penduduk setempat yang menganut agama Islam (hodson 1985, p 9)[24].
Perpecahan yang terjadi di India pada dasarnya di sebabkan oleh persoalan Agama. Yang dimana hal itu bukanlah barang baru, karena sudah sering terjadi. Tetapi konflik Hindu-Islam mempunyai makna lain, bukan hanya sekedar pertentangan agama. Hinduisme merupakan suatu jalan hidup, yang mencakup setiap aspek kehidupan dalam kesehariannya, hubungan sosial dan pemikiran personal. Perkawinan dalam masyarakat Hindu bukan saja disucikan oleh ritus agama, ia diatur ole aturan-aturan sosial yang rumit yang tidak mungkin untuk melepaskan diri dan dijerat dengan keyakinan agama menentukan sikap terhadap binatang, obyek, dan kedudukan tertentu, memberikan struktur aturan personalnya sendiri. Sistem kasta adalah integral bagi Hinduisme. Setiap orang Hindu mempunyai kasta, yang menjadi bagian hidup sejaklahir sampai masuk ke liang kubur. Kasta mengatur ketaatan keagamaan, hubungan sosial, kedudkan dan kehidupan.[25]
Islamisme juga mempunyai sifat masyarakat agama, suatu cara hidup, dalan beberapa hala jauh lebih keras dari Hinduisme, misalnya dalam hal puasa. Kaum Muslim India juga mempunyai sistem aturan personal, peraturan tingkah laku dari lahir sampai mati, menetukan sikap tertentu terhadap makhluk lain dan kejadian-kejadian biasa, ketaatan, praktek dan larangan, yang oleh orang Hindu dianggap menjijikkan, begitu juga sebaliknya kebiasaan Hindu dianggap kaum Muslimin juga menjijikkan.[26]
Kaum Muslimin dapat mempertahankan harga diri dan perlawanan komunal atas kesadaran sebagai bagian dari persaudaraan umat Islam dunia. Masyarakat Muslim dan mayoritasnya di propinsi barat laut dan timur laut diperoleh dari ingatan historis akan kejayaan masa silamnya. Dari supremasi otoritas masa silam, misalnya, Hyderabad, penguasanya Muslim tetapi mayoritas rakyatnya Hindu, merupakan bukti dan saksi yang masih ada.[27]
Ada suatu ketegangan dalam sikap Islam Anak benua India yang mengantar pada pembagian komunal sebagai suatu kepentingan dan tujuan politik. Dari sejak awal Islam telah menjadi iman yang menaklukkan dan pembentukan imperium. Setelah Islam berkuasa di anak Benua India, tidak seorang raja Hindupun yang berhasil menguasai kaum Muslim di seluruh lembah Indus dan Gangga. Eskipun kesultanan Moghul sudah surut mereka tetap berada di Delhi samapi tahun 1857. Dalam ingatan rakyat yang beragama Islam mereka telah menjadi penguasa bukannya yang dikuasai.[28]
Menurut pemerintah kolonial Inggris kaum Muslimin bertanggung jawab atas terjadinya India Mutiny tahub 1857. Lagi pula di kalangan terpelajar dan pedagang India yang semakin banyak ambil bagian dalam kehidupana umum yang berhubungan dengan Inggris, kaum Muslimin sedikit jumlahnya dibandingkan dengan mereka yang beragama Hindu. Adanya India Act-1892 tidak memberi tempat kepada kaum Muslimin untuk ikut serta di dalamnya karena kriteria yang diperlukan antara lain kemampuan berbahasa Inggris. Tetapi kebijakan Lord Dufferin tersebut tidak dilanjutkan oleh penggantinya dengana alasan ntuk dapat menguasai kehidupan politik India yaitu dengan mendukung politik komunal terpisah atau perwakilan kelompok. [29]
Suatu tahapan amat penting dicapai dengan adanya Morley-Minto reforms-1909. Hak-hak dewan legislatif pusat dan propinsi diperluas. Untuk keperluan itu keanggotaan dewan diperluas dan prinsip pemilihan anggota tidak resmi diberikan kepada kaum Muslimin. Perkembangan baru ini diambil karena pemerintah Inggris melihat kesadaran politik dan anbisi kelas terpelajar di India. Dalam tubuh kongres yang dibentuk tahun 1885, pada awal abad ke XX muncul tuntutan untuk memeritah sendiri secara bertanggung jawab, yaitu dari kaum militan. Banyak pemimpin Islammenjadi gelisah karenanya. Pendukung kongres terutama orang-orang Hindu. Suatu keputusan dipimpin oleh Agha Khan mengajukan sistem pemilihan terpisah kepada Raja Muda Lord Minto berdasarkan sumbangan mereka untuk mempertahankan imperuim dan tradisi mereka.[30]
Kemudian, orang Islam menyatakan diri sebagai kelompok terpisah oleh Sir Sayid Ahmad Khan, di konkretkan dalam perundang-undangan atas usulan delegasi Ahmad khan yang telah kami sebutkan sebelumnya (India Act-1909), diberi nama Pakistan atas prakarsa Rahmat Ali, diberi cakupan wilayah India Barat laut oleh Muhammad Iqbal dan disahkan menjadi Resolusi Pakistan dalam sidang tahun di Lahore yang  Isinya adalah wilayah-wilayah yang umat Islam berada dalam mayoritas zona barat laut dan timur India harus dikelompokkan sebagai negara yang merdeka.[31], pada bulan Maret 1940; memperoleh kedaulatan dari tangan Inggris pada tanggal 14 Agustus 1947, terdiri dari Pakistan Barat dan Timur (sekarang Pakistan dan Bangladesh). Pada saat-saat terakhir penyerahan kedaulatan, peranan Muhammad Ali Jinnah sebagai juru bicara kaum Muslimin sangat menentukan.[32]
Hal-hal yang memungkinkan keberhasilan Jinnah adalah periode Perang Dunia II. Para pemimpin Kongres dipenjarakan, Liga yang menggunakan taktik bekerja sama dengan Inggris mampu berbenah diri tanpa dirintangi oleh Kongres justru dikendalikan oleh Liga dalam upaya memenuhi tuntutannya. Kongres yang berusaha melebur Liga setelah kemenangannya dalam pemilu tahun 1973, harus merelakan Liga memisahkan diri sebagai bangsa baru untuk menghindari huru hara dan pertumpahan darah, tetapi pertimbangannya itu ternyata gagal dijudkan. India da Pakistan berdiri sebagai dua bangsa baru dengan tragedi mengerikan yang sukar untuk dilupakan oleh kedua bangsa, yakni meletusnya Perang Kashmir. [33]
  D.    Kondisi Masyarakat Pakistan
Sejak awal berdirinya Pakistan sudah menghadapi banyak permasalahan. Meskipun penduduknya homogen dalam Agama, kenyataannya mereka adalah gabungan dari rakyat dengan 32 macam bahasa dan sentimen daerah yang kuat. Di samping itu secara geografis wilayah Pakistan terpisah menjadi dua, yaitu Pakistan Barat dan Timur. Kedua wilayah ini dipisahkan oleh wilayah India sepanjang 2000 km.[34]
Kesulitan lain adalah masalah kurangnya tenaga ahli administrasi pemerintahan. Letak ibu Kota Negara yaitu Karachi kurang strategis karena tanpa dukungan infra struktur industri. Kesulitan politik juga muncul yaitu kurangnya komunikasi pusat dan daerah. Karena belum adanya organiasi yang terbina. Keadaan inilah yang harus dihadapi oleh Muh Ali Jinnah, presiden pertama Pakistan, sampai akhir hayatnya (1948). Perdana menteri Liaqat Ali Khan, pengganti Jinnah, kurang memiliki otoritas. Akibatnnya, kekacauan politik dan sosial tetap berlangsung, sehinggasituasinya benar-benar kacau. Seluruh energi pemerintah dikerahkan untuk menjaga integritas bangsa.[35]
Setelah kekacauan sosial dapat diatasi muncul masalah lain yaitu penetuan identitas nasional mengenai bentuk negara. Ada dua kecendrungan dalam perumusannya. Pertama, sebuah negara tradisional diamana hubungan organik agama  dan negara didasarkan pada syari’ah. Kedua, sebuah negara  bangsa modern yang berdasarkan perundang-undangan Barat dengan perhitungan-perhitungan sekulernya. Permasalahan ini menimbulkan tarik-menarik anatara pimpinan politik yang berpendidikan Barat dan pimpinan Agama.[36]
Setelah melalui perdebatan selama 9 tahun, badan konstituante berhasil menyusun konstitusi 1956 yang merupakan hasil kompromi antara kaum modernis dan tradisionalis. Dalam konstitusi tersebut dirumuskan bahwa nama negara adalah Republik Islam Pakistan, bentuk negaranya adalah demokratis yang didasarkan atas prinsip-prinsip Islam, kepala negara adalah muslim dan dibentuk suatu pusat penelitian untuk membantu pemerintahan.[37]
E.     Islam in Pakistan[38]
Islam arrived in the area now known as Pakistan in the year 711 AD, when the Umayyad Arab Muslim dynasty sent a army led by warrior Muhammad IbnQasim against the ruler of Sindh, Raja Dahir. This was due to the fact that Raja Dahir had given shelter to many Princes Zoroastrians who fled the Islamic conquest of Iran.
The experience of Pakistan regarding the interaction of religion and politics is unique because it is integrally related to the idea of a separate homeland for Indian Muslims who emerged in the late 1930's. Since then, since the founding of Pakistan in 1947, however, influenced by the political development of Islam and may remain so in the future.
Pakistan is a country founded for Muslims, was proclaimed on August 14, 1947. The birth of this country is the fruit of long struggle of Muslims in India to escape the domination of the majority Hindus. Pakistan states that the architect was a dream of an ideological state, where the Muslims were able to apply the teachings of Islam and live in harmony with the instructions. Furthermore, this new country is a democracy with the concept of popular sovereignty as a base. Therefore, the Ijma 'as the implementation of collective Ijtihad is necessary so that the scholars agreed into the legislative council to assist and lead the conversation, talk about issues related to the law, at least in the intermediate levels to Islamic law has been modernized. These ideas that later became the basis of political thought Pakistan Muslim modernists.
Pakistan standing and independence from Britain on August 14, 1947. He is a combination of the five provinces of which are Balukistan India, Sind, Punjab, Bengal, and Assam. Pakistan is a beginning designer Muhammad Iqbal (1873-1938 AD) and which embodies the design is the Muhammad Ali Jinah (1876-1948 AD).
Modernist figures who supported the establishment of Pakistan is Ahmad Khan, Syed Amir Ali, and Muhammad Iqbal. In addition, the establishment of Pakistan State also has the support of (a). Jama'ah Tabliq leader Muhammad Ilyas, (b). Ashraf Ali Sufi movement led Tsanvi; (c). Jama'ahIslamiyah leader Abu Al-A'la Al-Mawdudi, (d).Khilafah movement headed by Muhammad Ali Jauhar (e).Khaksar motion Inayatullah Al-Masyruqi leadership.
The first is the President of Pakistan Muhammad Ali Jinah to death (1948 AD). after the death of Muhammad Ali Jinah, Muslim Pakistan are faced with the contradictions that occur due to: first Liaqot Ali Khan, the successor to Ali Jinah lacks clear authority. And two Muslims are divided into two groups, namely the modernist (western educated Muslims) and traditionalists (who want the relationship between religion and state regulation is based on Islamic Shari'ah). This conflict gave birth to the Constitution 1956 (as a compromise) that determines: (a). form is a democratic state based on Islamic Shari'ah principles, (b). the head of state should be Muslim, and (c). research center established to help government (Nasution Harun, 1986).
Ayub Khan to power in a coup in 1958. In his days, the constitution was amended by the 1956 changes: (a). Islam liberation from superstition and promote these through the development of science, and (b). established the Advisory Council of Islamic ideology (Islamic Research Institute). This policy was opposed by traditional scholars. Ayub Khan was replaced by Yahya Khan; Yahya Khan and Zulfikar Ali Bhutto was replaced by; and Zulfikar Ali Bhutto by Zia ulHaq's coup (5 July 1977). ZiaulHaq tried to realize the Islamic Shari'ah through: (a). establishment of the Committee and the collector and distributor of the Zakat tax, (b). Establishment of Sharia Court, (c). elimination of Riba in the banking system, and (d). revision of textbooks in schools and colleges.
F.      Perkembangan Politik Pakistan
Pada 1971, Zulfikar Ali Bhuto memegang kekuasaan dengan membangun Partai Rakyat Pakistan (PPP) da atas “puing-puing” kegagalan penerintah Ayub Khan. Zulfikar Ali Bhuto adalah seorang politikus-sekuler modern yang yang kecenderungan ideologisnya ke arah sosialisme. Kendatipun demikian, munculnya rangkaian peristiwa-peristiwa yang terjadi di Pakistan telah mendorong Bhuto secara progresif meningkatkan seruannya terhadap islam. Lalu, diluar kebijaksanaan politiknya, ia membuat proses pembuatan sistem politik dan sosial-ekonomi pemerintah yang lebih islami.[39]
Pada 1973, perdana mentri Zulfikar Ali Bhuto menetapkan pakistan sebagai Negara Republik Sosial Islam. Dibawah kepemimpinanya bersama Partai Rakyat Pakistan dari 1970-1977. Zulfikar Ali Bhuto dalam kebijakan-kebijakan politiknya banyak memejukan kebijakan sosialisme dengan kepercayaan dan nilai-nilai islam yang dipengaruhi oleh bentuk-bentuk sosialisme barat.[40]
Kemudian, pada akhirnya di bulan Juli 1977 rezim Ali Bhutto berakhir secara menyedihkan. Yakni setelah menyingkirkan banyak orang yang pada mulanya mendukungnya, ia juga berusaha menghasut suatu oposisi tang terpecah belah secara luas untuk membentuk sebuah front persatuan guna pemilihan umum pada bulan Maret 1977. Ketika front ini gagal pada dasarnya karena campu tangan pemerintah yang berlebihan, mencapai suara mayoritas, ia melancarkan agitasi masa yang melumpuhkan nefara, dan memberikan kesempatan kepada angkatan bersenjata di bawah pimpinan Jenderal Zia ul-Haq untuk ikut campur tangan.[41]
 Pembenaran awal jenderal Zia atas tindakan militer adalah bahwa Bhutto telah kehilangan hak moralnya untuk memerintah. Angkatan bersenjata tidak hanya mempunyai tugas untuk campur tangan dalam mencegah kekacauan lebih lanjut dan untuk menjaminpemilihan umum yang segar, karena pada saat itu (1977) akan berlangsung Pemilu untuk dewan nasional dan propinsi[42]. Melainkan juga berkewajiban menghadapkan pemerintahan Bhutto ke pengadilan. Dalam proses yang berlarut-larut yang mebcapai puncaknya dengan hukuman mati atas Bhutto pada bulan April 1979, muncul sebuah versi yang agak berbeda tentang tugas angkatan bersenjata. Kini harus kembali bukan kepada dempkrasi banyak partai yang digambarkan di dalam konstitusi tahun 1973, tetapi kepada suatu bentuk demokrasi yang betul-betul bercirikan Islam. [43]
Jenderal Zia menyadari bahwa ia dibenarkan dalam tindakannya karena tidak ada Muslim tulus yang dapat meragukan apakah tindakan-tindakan itu sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, dia atasnya Pakistan didirikan. Karena itu pada bulan September 1980, dalam sebuah pidato pada hari peringatan wafatnya Jinnah, ia mengatakan bahwa langkah-langkah yang diambil sekarang ini untuk membangun suatu tatanan sosial Islam di Pakistan merupakan manifestasi sebanarnya dari impian-impian Jinnah.[44]
  G.    Tokoh-tokoh Nasionalisme India Pakistan
Cukup banyak tokoh-tokoh islam yang tampil memimpin umatnya untuk mencapai tujuan tersebut, diantaranya adalah Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah. Iqbal terkenal sebagai seorang filosof, penyair, dan pencetus ide negara Pakistan, sedangkan Ali Jinnah adalah tokoh yang memperjuangkan hingga lahirnya negara pakistan. Serta Terlahir juga tokoh-tokoh pembaruan yang membangkitkan kesadaran ummat Islam tentang ajaran Isalm yang benar dan memberi motivasi kebangkitan perlawanan jihad terhadap pemerintahan inggris, diantara mereka itu Syah Waliullah, Abdul Aziz, yang kemudian berpengaruh dalam gerakan melaksanakan ajaran-ajaran adalah Sayyid Ahmad dan lain lain.
Tokoh yang paling berpengaruh menyadarkan keterbelakangan ummat Islam ketika berada di bawah belenggu penjajahan Inggris adalah Syahid Ahmad Syahid lahir tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di deket Lucknow. Masa muda, ia memasuki pasukan berkuda Nawab Amir Khan. Di sinilah ia memperoleh pengetahuan dan pengalaman militer yang dibelakang hari berarti baginya dalam memimpin Gerakan Mujahidin. Setelah Nawab Amir Khan mengadakan damai dengan kekuasaan Inggris di India, ia meninggalkan lapangan militer dan pergi ke Delhi untuk belajar pada Syah Abdul Aziz.[45]
Sayyid Ahmad berkeyakinan bahwa ummat Islam India mundur karena agama yang mereka anut tidak lagi Islam murni, tapi Islam yang telah bercampur baur dengan paham dan praktik yang berasal dari Persia dan India baik ajaran agama Zoroaster maupun ajaran Hindu yang mengarahkan hidup kepada mematikan nafsu dan menjauhi dunia secara berlebihan. Keadaan demikian membawa ummat Islam India berada dalam kondisi mental dan teologi yang salah, dan harus dikembalikan kepada ajaran Islam yang murni. Untuk mengetahui ajaran yang murni itu orang harus kembali ke sumbernya aslinya Al-Qur’an dan Hadist. Dengan kembali kepada kedua sumber asli ini bid’ah dan khurafat yang melekat ke tubuh Islam akan dapat dihilangkan.[46]
Gerakan Mujahidin yang dipelopori oleh Ahmad Syahid ini lebih berorientasi kepada dinamika sosial menggerakkan ummat Islam supaya mempunyai motivasi islami dalam mengobarkan jihad melawan Inggris. Dengan landasan jihad seperti itulah bisa mengembangkan ide pembaruanya. Dari tindakan yang menggaet pihak Hindu dan kelompok lain yang tidak beragama Islam untuk melawan Inggris. Begitu juga sikap empatinya membuat gerakan Mujahidin banyak simpati dari berbagai kalangan yang sefaham dengan cita-cita nasionalisme India.[47]
Ide-ide yang lebih besar dari Sayyid Ahmad adalah di bidang politik.Garis politik Sayid Ahmad nampak sangat konsisten, ia mengakui bahwa India pada saat itu bukan negara Islam sebab India telah menampung beberapa agama. Selanjutnya Sayyid melakukan peperangan terhadap kelompok Syih sebelum memerangi Inggris karena kelompok Syih sering melakukan peperangan terhadap umat Islam, dan pada saat itu Inggris telah menguasai ekonomi,persenjataandan kemampuan Iptek yang tinggi di India, Maka sebelum melakukan perlawanan terhadap Inggris, Sayyid harus menguasai daerah daerah India untuk berhimpun menghancurkan Inggris.[48]
Selain Sayyid Ahmad ada juga tokoh yang berperan menjadi nasionalisme India yaitu Ammir Ali dan Abu Kalam Azad. Amir Ali merupakan seorang politikus, ia mendirikan partai politik National Muhammadan Associaotion yang kemudian menjadi partai nasional. Organisasi tersebut bertujuan untuk melindungi Hak-hak umat Islam saat itu dalam usaha persaingan yang keras dengan warga hindu. Beliau menghidupkan kembali rasionalitas, dengan cara menyusun ide ide pembaruan yang dituangkan di atas kertas, yang sering kita dengar yaitu buku dengan judul The Spirit of Islam yang dicetak pada tahun 1891. Buku ini berisi tentang problema umat Islam dan pemecahanya. Karya yang lain adalah Acritical Examination of the Life and Teaching of Muhammad. Buku Ini merupakan upaya penafsiran kelompok pembaru terhadap Islam. Pemikiran Amir Ali walaupun dinilai berbau apologetik tentang Islam, namun justru denga gaya berpikirnya seperti itu dianggap mampu menampilkan pembelaan yang tinggi terhadap Islam. Selain itu, Amir Ali mampu mengangkat citra ummat Islam India tanpa harus berobsesi mengorbankan kelompok keagamaan lain. Ini semua karena semangat nasionalisme yang didasari solidaritas Islam atas perbedaan keyakinan lain yang dianggap mempunyai citra tersendiri di mata umatnya bahkan di mata barat. Tokoh yang lain adalah Abu Kalam Azab beliau adalah tokoh nasionalisme murni. Ide nasionalisme yang dilontarpkan antara lain tentang persatuan antara umat Islam dengan umat Hindu dalam menghadapi bangsa asing. Beliau berpendapat bahwa jalan untuk memperoleh kemerdekaan bukan meminta minta dan bersikap lunak dengan Inggris, tapi haruslah dilawan dengan kekerasan dan tekanan. Pada tahun 1929 dibentuklah kelompok Nasionalis Islam di dalam partai Konggres yang diketuai oleh dia sendiri. Tujuanya untuk membangkitkan jiwa patriotisme di kalangan ummat Islam India, terutama sekali menyelesaikan faham antara Hindu dan Islam. Tapi Usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang berarti, karena ummat Islam masih tidak bisa menghilangkan kecurigaan mereka terhadap Hindu. [49]
  H.    Perkembangan Keilmuan Islam di India-Pakistan[50]
Perkembangan keilmuan Islam di India-Pakistan yang pesat pertumbuhannya dapat terlihat dari beberapa aspek: pertama, kemunculan tokoh-tokoh muslim pemikir sekaligus pemimpin penting di India-Pakistan yang pemikiranpemikirannya banyak menginspirasi sarjana-sarjana muslim lain, bahkan di luar India dan Asia. Mulai abad ke-19, muncul Shah Waliyullah al-Dihlawi (1703– 1762), Ia adalah seorang pemimpin tarikat Naqshabandi yang juga pemikir keagamaan dan kenegaraan. Melihat melemahnya konfigurasi regional baru di India, ia mencetuskan ide tentang pengangkatan pangeran Mughal, seperti Afghan Shah Abdali sebagai pemimpin India (Mercalf, 1993: 189). 
Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), Muhammad Iqbal (1877-1938), Mawlana Muhammad Ilyas (1885-1944), Mawlana Abu al-A’la al-Mawdudi (1903-1979), dan Mawlana Abu al-Hasan ‘Ali Nadvi (lahir 1914), juga Fazlur Rahman (wafat 1988), pengagum Iqbal sekaligus seorang pemikir yang tegas dan provokatif dengan ideidenya mengenai reformulasi doktrin dan praktik sosial dalam Islam. Dalam teorinya Fazlur Rahman menekankan bahwa penafsir al-Qur’an tradisional telah gagal dalam melihat prinsip universal dari al-Qur’an sebagai sebuah kesatuan.
Kedua tumbuh suburnya madrasah-madrasah dan masjid-masjid yang dijadikan pusat kegiatan intelektual dan keagamaan. Di Pakistan, terdapat sekitar 200.000 masjid yang menjadi pusat 350.000 fungsionaris religius seperti imam, khatib dan khadim. Tidak seperti kebanyakan negara Muslim di Timur-Tengah, jaringan masjid dan madrasah di Pakistan bergerak di luar kendali pemerintah dengan otonomi penuh. Dan biasanya, dalam desa kecil yang tidak memiliki gedung publik, masjid biasa dijadikan forum untuk mendiskusikan isu-isu publik (Ahmad, 1999: 296). 
Adapun madrasah, telah sejak dulu menjadi pusat studi Islam klasik sekaligus menjaga tradisi ortodoks di Asia Selatan. Di Pakistan, terdapat tidak kurang dari 2.000 madrasah yang menampung 316.000 murid. Jumlah yang besar ini adalah warisan dari kebangkitan pendidikan Islam di India sejak akhir abad ke-19. Tujuan utama didirikannya madrasah adalah: (1) memelihara tradisi Islam ortodoks, (2) melatih sarjana dan fungsionaris Islam, (3) menyiapkan pemimpin politik yang ulet, (4) membangunkan kembali kesadaran akan solidaritas Islam di Asia Selatan.
Sedangkan di India, seharusnya kota Delhi memiliki banyak masjid dan madrasah sekaligus bangunan-bangunan berasitektur khas Islam karena selama ratusan tahun, dinasti-dinasti Islam slih berganti menjadikan Delhi pusat pemerintahannya. Namun, peninggalan-peninggalan yang ada sekarang hanyalah yang ditinggalkan oleh dinasti terakhir, Mughal, karena warian-warisan yang sebelumnya telah diratakan dengan tanah oleh Timur Lenk (Yatim, 1989: 289-291).
I.       Islam dan Politik di India-Pakistan[51]
Perbedaan prinsipil antara Islam di India dan Pakistan adalah bahwa jumlah penganut Islam di India menjadi minoritas, berbanding terbalik dengan kondisi di Pakistan yang menjadi mayoritas. Keadaan ini tidak memberikan banyak pilihan dan kesempatan bagi umat Islam di India untuk ikut andil dalam politik negara, meskipun secara de jure, pada 1957, konstitusi India memberikan untuk pertama kalinya kepada umat Islam di Asia Selatan kesempatan untuk menunjukkan kekuatannya. Konstitusi India dewasa ini mengadopsi model sekuler dengan pandangan modern dan liberal. Kesempatan yang diberikan oleh kontitusi India dimanfaatkan oleh umat Islam di sana untuk memperoleh jabatan publik. Mereka mengikuti pemilihan dan mendapatkan kursi di parlemen (national and state legislatures). Beberapa bahkan masuk dalam kabinet, menjadi gubernur dan hakim pada mahkamah agung meskipun presentasenya masih lebih kecil di bandingkan populasinya (Shahabuddin, 1987: 158-159).
Meski umat Islam di sana menjadi minoritas, namun umat Hindu yang jumlahnya hampir 81% pun terbagi menjadi banyak golongan-golongan kecil berdasarkan suku, agama dan sektenya masing-masing. Hasilnya, undang-undang India menjadi protektif terhadap kepentingan minoritas. Shahabudin (1987: 153-155) mencontohkan Pasal ke-14 misalnya, menjamin kesetaraan seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Sementara dalam pasal 26,27 dan 28, kaum minoritas dijamin kebebasannya untuk menata kehidupan keagamaannya. Pemerintah tidak diperkenankan mengambil retribusi terhadap kegiatan-kegiatan promosi maingmasing agamas serta tidak mewajibkan seremoni peribadatan tertentu dalam sekolah-sekolah negeri. walaupun demikian terdapat beberapa pasal yang sarat kepentingan umat Hindu sebagai mayoritas. Di antaranya adalah pasal anti penyembelihan sapi yang sering dianggap sebagai usaha pemerintah memaksakan etika kultural Hindu terhadap Muslim.
Faruqi (1987: 55-56) mengatakan bahwa di Pakistan, keadaan ini berbalik 180 derajat. Prinsip-prinsip Islam bahkan menjadi dasar dalam penetapan undangundangnya. Pada kurun 1947-1971, tiga kali Pakistan mengalami perombakan konstitusi, namun ketiganya tetap mengakomodir prinsip-prinsip: (1) ke-maha kuasa-an Allah, (2) demokrasi, kebebasan, kesetaraan, toleransi dan keadilan sosial, (3) akhlak islami, (4) penyediaan fasilitas-fasilitas keagamaan, (5) pengajaran ajaranajaran Islam, (6) ketaatan pada standard moral Islam, (7) pengelolaan zakat dan wakaf, (8) larangan prostitusi, perjudian dan drug, (9) larangan minuman beralkohol, (10) penghapusan riba, (11) larangan atas segala bentuk penghinaan terhadap Islam.
Namun, ketegangan muncul di Pakistan. Pakistan memiliki dua wilayah yang secara geografis dan budaya berbeda: Pakistan Barat dan Timur. Kedua wilayah ini terpisah ribuan mil. Secara umum, terlihat bahwa peran politik Pakistan Barat lebih dominan, dan karenanya dianggap terlalu mengeksplotasi Timur. Tahun 1950-an, ketegangan memuncak di antara dua wilayah ini sebab faktor politis dan sosial. Ketegangan ini memuncak setelah pembunuhan perdana menteri pertama Pakistan Liaquat Ali Khantahun 1951, kekuataan politik mulai dipusatkan pada Presiden Pakistan, dan kadang-kadang militer. Pakistan Timur menyadari jika salah satu dari mereka, seperti Khawaja Nazimuddin, Muhammad Ali Bogra, atau Huseyn Shaheed Suhrawardy, terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan, dengan cepat mereka akan dijatuhkan oleh Pakistan Barat. 
Kediktatoran militer Ayub Khan (27 Oktober 1958 – 25 Maret1969) dan Yahya Khan (25 Maret 1969 – 20 Desember 1971), yang keduanya berasal dari Pakistan Barat, hanya meningkatkan sikap bermusuhan Pakistan Timur. Di sisi sosialnya, penggunaan bahasa “Urdu” sebagai bahasa nasional juga direspon negatif oleh Pakistan Timur karena bahasa urdu memang digunakan oleh Pakistan barat, sementara pakistan timur menggunkan bahasa Bengali (Lihat: David Taylor, 1985, “Politik Islam dan Islamisasi di Pakistan”, dalam Harun Nasution (ed.), Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm. 153-154). Hingga pada 26 Maret 1971  Pakistan Timur resmi berpisah dari Pakistan dan menjadi negara Bangladesh dengan 90% penduduknya Muslim.
Beberapa pemerhati, seperti Mumtaz Ahmad (1988: 235), menganggap pecahnya Pakistan ini sebagai ketidak-mampuan Islam sebagai sebuah sistem pada masa itu untuk menjadi solusi alternatif bagi persatuan Pakistan. Kegagalan golongan elit di bidang pemerintahan, pendidikan, politik dan sosial untuk menghubungkan Islam dengan isu-isu yang aktual seperti persamaan distribusi ekonomi dan memberi suara pada sektor-sektor yang secara politis berhubungan, menjadikan kaum minoritas menganggap Islam tak lebih dari sekedar sarana eksploitasi saja.   
J.       Perekonomian India-Pakistan Dalam Kancah Internasional[52]
Memang, negara bekas jajahan Inggris terbukti bisa survive dan berkembang menjadi negara besar. Ini dikarenakan, saat penjajahan, Inggris juga memperhatikan pendidikan dari negara jajahannya. Itu pulalah yang terjadi di India. Saat ini, India menjadi salah satu negara dengan perkembangan industri terpesat. Sebagai gambaran tahun 2012 yang lalu, kemajuan ekonomi di India digadang-gadang akan mampu menyaingi China karena beberapa alasan, yaitu; (1) konsumsi domestik yang rendah, (2) upah pekerja yang murah, (3) tingginya populasi penduduk usia muda (produktif), (4) kemampuan bahasa Inggris yang baik (Lihat: www.liputan6/bisnis.com. Diakses tanggal 28 Maret 2013). Sayangnya, komunitas Muslim di sana tidak menikmati kemajuan ini karena: 1.) Perginya beberapa tokoh terpelajarnya Muslim ke Pakistan. Salah satunya adalah peristiwa eksodus besar-besaran terjadi tahun 1947. Orang-orang Islam dari perkotaan di Utara India yang kebanyakan adalah profesional dan kaum terpelajar pindah ke Pakistan. Sebaliknya, penganut Sikh dan Hindu yang masih ada di Pakistan pindah ke India. Migrasi yang sporadis ini terus berlangsung hingga 1971 (Shahabuddin, 1987: 157),  2.) Meningkatnya gerakan anti-Muslim sejak 1990-an oleh kaum mayoritas (pemeluk agama Hindu). Hanya ada beberapa nama, seperti Zakir Husain dan Fakhruddin Ali Ahmad yang tercatat pernah sukses berkarir sebagai birokrat di India (Mercalf, 1993: 188).
Dalam hal kesempatan memperoleh pekerjaan, jalur yang harus ditempuh umat Islam lebih ribet dari pada umat Hindu. Meskipun untuk pekerjaan-pekerjaan level tinggi, sebab utamanya disinyalir adalah kurangnya kemampuan umat Islam. Dalam hal tersebut. Pada pabrik-pabrik di sektor privat, perbedaan ini jelas terlihat. Dibandingkan non-Muslim, Jumlah pekerja Muslim total sebesar 7,23%, supervisor 2,23% dan eksekutif 1,5% (Shahabudin, 1987: 163-164).
Adapun Pakistan, hingga saat ini belum mampu sepenuhnya membuktikan dirinya sebagai negara Muslim yang stabil secara ekonomi. Baru-baru ini, IMF mendesak Pakistan untuk mengurangi defisit anggaran yang besar guna mendukung ketahanan ekonominya yang sedang sulit. IMF menyatakan pertumbuhan Pakistan masih terlalu lemah, inflasi tinggi, dan neraca perdagangan menuju ke arah yang salah (Tania Tobing, “Pertumbuhan Ekonomi Pakistan Masih Lemah”, dalam www.vibiznews.com. Diakses tanggal 28 Maret 2013).






BAB III
PENUTUP
  A.    Kesimpulan
Inggris masuk ke India sejak tahun 1600 M. Tujuan awalnya adalah berdagang melalui British East India Company atau lebih dikenal dengan EIC, pada abad ke 18 Inggis  membelokkan tujuannya dan mulai berusaha untuk menguasai IndiaInggris di India,  Saat itu kekuatan Mughal mulai melemah sehingga Inggris dengan mudah menundukkan satu persatu wilayah Mughal.kemudian dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh tokoh-tokoh nasionalisme, India mencapai kemerdekaan pada ahun 1947. Pada Kongres tahunan di Lahore tercapai kesepakatan yang menyatakan kemerdekaan Pakistan dari Inggris maupun pembebasan wilayah dari India.
Pakistan berdiri sebagai negara Islam yang diproklamasika pada tanggal 14 Agustus 1947 oleh Muhammad Ali Jinnah.kemudian pada  konstitusi 1956 dirumuskan bahwa nama negara adalah Republik Islam Pakistan, bentuk negaranya adalah demokratis yang didasarkan atas prinsip-prinsip Islam. Tokoh-tokoh yang sanga sangat berperan dalam kemerdekaan Pakistan adalah Sir Sayid Ahmad Khan, Ahmad khan Rahmat Ali, Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, Pakistan mengalami banyak masalah, baik deri segi sosial, segi ekonomi, segi agama, sampai kepada terjadinya peperangan dengan negara India. Dan juga konflik antar penguasa sampai di hukum matinya Ali bhutto. Namun dari segi keilmuan, Pakistan mengalami kemajuan yakni dengan munculnya tokoh-tokoh Muslim pemikir sekaligus peminpin, diantaranya adalah,  Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Mawlana Muhammad Ilyas, Mawlana Abu al-A’la al-Mawdudi, Mawlana Abu al-Hasan ‘Ali Nadvi dan Fazlur Rahman. Juga tumbuh suburnya madrasah-madrasah dan masjid-masjid yang dijadikan pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.





DAFTAR PUSTAKA
Ali Sodiqin dkk, Sejarah Peradaban Islam. Dari Masa Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta;LESFI,2002)

A.Sani,Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1998)
B.Musidi, Anak Benua India Sejarah Ringkas Dari1600-1977 (Yogyakarta: appti, 1015).
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah  Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975,)
Harun Nasution dan Azyumardi Azra. Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985)
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung:Mizan,1995),

Sulasman, Islam In South Asia: A Brief Overview On Historical Development Of Islam In India, Pakistan, And   Bangladesh. International Journal of Asian Social Science ISSN(e): 2224-4441/ISSN(p): 2226-5139. journal homepage:  http://www.aessweb.com/journal-detail.php?id=5007. Di Akses 20 February 2017
Mu’ammar Zayn Qadafy, Peradaban Islam di India-Pakistan. (AL MURABBI. Vol. 0No. 02. Januari-Juni 2015   ISSN 2406-775X 7 ). Di akses 22 Maret 2017







[1] Ali Sodiqin dkk, Sejarah Peradaban Islam(Dari Masa Klasik Hingga Modern).(Yogyakarta;LESFI,2002),hlm.183
[2] ibid
[3] Ibid, hlm. 190
[4] Ali Sidiqin,dkk, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:LESFI, 2009). hlm.189
[5] Ibid,
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8] Hamka, sejarah umat lsam. Hlm. 517, dalam Ali Sidiqin,dkk, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:LESFI, 2009). hlm. 189
[9] ibid
[10]B.Musidi, Anak Benua India Sejarah Ringkas Dari1600-1977 (Yogyakarta: appti, 1015).
[11] Ibid,
[12] Ibid,
[13] B.Musidi, Anak Benua India Sejarah Ringkas Dari1600-1977 (Yogyakarta: appti, 1015).  hlm. 92
[14] Ali Sidiqin,dkk, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:LESFI, 2009). hlm. 189-190
[15] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah  Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975,) hlm. 166-167
[16] ibid
[17] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung:Mizan,1995), hlm.65-66
[18] Ibid, hlm.72-73
[19] Ali Sidiqin,dkk, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:LESFI, 2009). hlm.190
[20] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Bandung:Mizan,1995)hlm. 209
[21] Ali Sidiqin,dkk, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:LESFI, 2009). Hlm.191
[22] ibid
[23] Jhon I.Episito,Dinamika kebangkitan Umat Islam, dalam [23] Ali Sidiqin,dkk, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:LESFI, 2009). Hlm.191
[24] Ibid
[25]  B.Musidi, Anak Benua India Sejarah Ringkas Dari1600-1977 (Yogyakarta: appti, 1015). Hlm. 94
[26] Ibid,hlm.95
[27] Ibid,
[28] Ibid,
[29] Ibid, hlm.96
[30] Ibid,
[31] Ali, Alam Pikiran, hlm 209 dalam Ali Sidiqin ,dkk, Sejarah Peradaban Islam, hlm.191
[32] Ibid, hlm.106
[33] Ibid,
[34] Ali Sidiqin,dkk, Sejarah Peradaban Islam, hlm.192
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Sulasman, Islam In South Asia: A Brief Overview On Historical Development Of Islam In India, Pakistan, And   Bangladesh. International Journal of Asian Social Science ISSN(e): 2224-4441/ISSN(p): 2226-5139. journal homepage:  http://www.aessweb.com/journal-detail.php?id=5007. Di Akses 20 February 2017
[39] mbk
[40] mbak
[41] Harun Nasution, Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985) hlm. 158
[42] [42]B.Musidi, Anak Benua India Sejarah Ringkas Dari1600-1977 (Yogyakarta: appti, 1015). Hlm. 183
[43] ibid
[44] Ibid, hlm.159
[45] A.Sani,Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1998)
[46] Ibid, hal:140
[47] Ibid, hal:141
[48] Ibid, hal:142
[49] Ibid, hal: 145-157
[50] Mu’ammar Zayn Qadafy, Peradaban Islam di India-Pakistan. (AL MURABBI. Vol. 01 No. 02. Januari-Juni 2015   ISSN 2406-775X 7 )
[51] ibid
[52] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar